"Hati"
Tatalah hatimu! Tetapi kalau belum bisa menata hati, tatalah sendalmu dengan baik.
My Blog List
Pages
Saturday, August 27, 2011
Keberhasilan Puasa Kaitannya dengan Taqwa
Menjadi bertakwa, sebenamya sebuah proses untuk kembali kepada fitrah kita
sebagai manusia. Bertingkah laku sebagai manusia yang berbudaya tinggi. Bukan
hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk seluruh alam karena kita adalah
khalifah Allah di muka bumi.
Maka manifestasi sifat takwa adalah berbuat baik pada diri sendiri, berbuat baik
pada orang lain, berbuat baik pada lingkungan, dan beramal shalih dengan
mengikhlaskan ketaatan hanya kepada Allah semata. Semuanya berpadu dalam sebuah
keseimbangan.
Dalam kaitannya dengan ibadah puasa, maka takwa yang seperti itulah yang dipatok
sebagai tujuan. Jadi, puasa yang baik dan berhasil adalah puasa yang membawa
dampak pada ke empat hal tersebut, yaitu terjadi peningkatan kualitas diri
sendiri, peningkatan kualitas hubungan dengan sesama, peningkatan kualitas
terhadap lingkungannya, dan peningkatan kualitas hubungan dengan Allah.
Pada saat seseorang mencapai semua itu, maka sebenamya dia telah kembali kepada
fitrahnya sebagai manusia yang sesungguhnya insan kamil manusia yang sempurna.
Apakah tanda-tanda yang bisa dijadikan parameter untuk mengukur keberhasilan
puasa kita?
1. Badan lebih sehat
2. Emosi lebih rendah
3. Pikiran lebih jemih
4. Sikap lebih bijaksana
5. Hati lebih lembut dan peka
6. lbadahnya lebih bermakna
7. Lebih tenang dan tawadlu' dalam menjalani hidup
Dan masih banyak lagi manfaat lain yang bisa kita ukur dari efek puasa. Namun,
dengan mengukur ke 7 parameter itu kita sudah bisa memperoleh gambaran yang
komprehensif tentang berhasil tidaknya puasa kita dalam mengubah karakter
seseorang menjadi lebih bertakwa.
1. Badan Lebih Sehat
Ketakwaan seseorang, sebagai bentuk hasil puasa, salah satunya bisa diukur dari
kondisi kesehatannya. Puasa yang baik adalah puasa yang mampu mengubah pola
makan seseorang secara lebih sehat.
Kenapa takwa bisa membawa kita pada kondisi lebih sehat? Sebab, orang yang
bertakwa adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam hal makan, minum
dan gaya hidupnya. la sudah terbiasa dengan pengendalian diri selama bulan
puasa. Karena itu, menjadi mudah baginya untuk mengendalikan diri pada hari hari
di luar bulan puasa.
Jadi, ada dua hal yang menyebabkan dia menjadi sehat. Yang pertama, dia telah
melakukan puasa dengan benar selama bulan puasa, sehingga terjadi proses
penyehatan dalam dirinya. Mulai dari penggelontoran racun-racun dalam tubuh
(detoksifikasi), peremajaan sel sel (rejuvenasi) dan penyeimbangan kembali
sistem kesehatannya (stabilisasi).
Yang kedua, setelah berpuasa itu, ia masih tetap menjaga pola makan dan gaya
hidupnya di luar bulan puasa. Sehingga, badan tetap dalam kondisi terbaik dan
keseimbangannya. Akan menjadi lebih baik, jika di luar bulan puasa ia juga masih
sering berpuasa. Itu akan menjaga kestabilan kondisi badannya.
2. Emosi lebih rendah
Jika selama berpuasa kita mengikuti cara-cara yang diajarkan oleh Rasulullah
saw, maka bisa dipastikan emosi kita bakal lebih rendah. Sebab, berpuasa memang
bukan hanya mengendalikan diri untuk tidak makan dan tidak minum, melainkan juga
melatih emosi agar selalu dalam kendali akal.
Kondisi lapar dan haus memiliki peran yang cukup besar untuk selalu mengingatkan
kita dalam menjaga puasa agar tetap afdhol. Tidak emosional.
Emosi adalah manifestal dari ego seseorang. Emosi biasanya berkait dengan
kepentingan pribadi yang tidak kesampaian. Misalnya, marah, benci, dendam, iri,
dan dengki.
Puasa yang baik adalah puasa yang mampu mengendalikan emosi. Bukan sekadar
'menahan diri' untuk tidak melampiaskan, melainkan 'mengerti' bahwa hal itu tidak perlu dilampiaskan, sebab hanya akan merugikan semua pihak. Termasuk
dirinya sendiri. Lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya.
Nah, 'mengerti' itulah sebenamya manifestasi dari keimanan seseorang. Bukan
terpaksa 'menahan diri'. Jika sekadar keterpaksaan, maka lain kali akan dengan
mudah kita lakukan.
Atau, kalaupun tidak, pada saat kita terpaksa menahan diri itu, kita sebenamya
sedang membangun 'penderitaan'. Padahal, 'kebaikan' mestinya tidak membawa kita
kepada belenggu yang menyengsarakan, melainkan membawa kita pada 'kebebasan'
yang membahagiakan.
Karena itu, puasa. yang baik adalah puasa yang membawa kita kepada kebahagiaan
ketika kita bisa berlaku tidak emosional. Karena kita telah terbebas dari
belenggu emosi kita sendiri.
3. Pikiran lebih jernih
Pikiran jernih disebabkan oleh dua hal. Yang pertama, makan yang tidak terlalu
banyak sehingga tidak menyebabkan kerja otak terganggu oleh kantuk. Dan yang
kedua, emosi yang rendah karena kita 'faham' bahwa emosi tinggi hanya
menyebabkan pikiran kita suntuk, jengkel, dan tidak terkontrol.
Sebaliknya, orang yang tidak terlalu kenyang dibarengi dengan emosi rendah, maka
pikirannya bakal lebih jemih dalam menghadapi berbagai macam persoalan.
Pikiran yang jernih menyebabkan akal kita berjalan secara proporsional.
Orientasinya mengarah kepada kemanfaatan dan kemaslahatan bersama. Sebab jika,
hanya bermanfat pada diri sendiri, itu berarti merugikan orang lain. Jika kita
merugikan orang lain, maka kita sedang menanam potensial masalah di masa depan,
yang nantinya bakal merepotkan kita sendiri.
Jadi berpikir jernih adalah berpikir untuk kebahagiaan kita semua. Jika kita
bisa berpikir jemih berarti kita telah berhasil dalam puasa kita. Dengan kata
lain kita telah menjadi orang yang bertakwa. Sebab, ini memang menjadi salah
satu parameter berhasil tidaknya seseorang untuk mencapai kualitas 'Takwa'
4. Sikap lebih bijaksana
Parameter keberhasilan puasa kita juga terlihat dari sikap yang lebih bijaksana.
Bijaksana adalah dampak berikutnya setelah kita bisa berpikir jernih. Orang yang
tidak bisa berpikir jernih, bisa dipastikan tidak bijaksana.
Yang ada di benaknya adalah kepentingan-kepentingan sempit. Misalnya, hanya
berpihak kepada diri sendiri atau golonganya saja. Orang yang demikian adalah
orang yang tidak bijaksana.
Atau, orang-orang yang hanya berpikir untuk kepentingan jangka pendek saja,
tidak mau tahu bahwa dalam jangka panjangnya bakal menciptakan problem bagi
generasi berikutnya. Dan lain sebagainya, yang intinya tidak bisa berpikir
jernih dalam memandang persoalan, dan kemudian membuat keputusan yang berwawasan
sempit.
Puasa mengajari kita untuk bersikap bijaksana, sekaligus melatih dalam kurun
waktu tertentu. Perintah untuk berlapar dahaga, mengendalikan diri, dan
sekaligus ikhtisaban (selalu melakukan evaluasi) berdasarkan iman (faham &
yakin) telah mendorong kita menjadi orang yang bijaksana.
Kebijaksanaan tidak bisa dipaksakan, melainkan dilatih berdasarkan kesadaran dan
kefahaman. Justru, jika kita melatih dengan rasa terpaksa, maka yang muncul
adalah ketidakbijaksanaan. Yaitu, ingin selalu memaksakan kehendak kepada diri
sendiri maupun orang lain.
Kebijaksanaan muncul dari keikhlasan. Keikhlasan adalah akibat dari keyakinan.
Keyakinan berakar kuat setelah kita memperoleh kefahaman. Dan kefahaman kita
dapatkan dari pembelajaran yang intensif sepanjang usia kita. Itulah yang
disebut sebagai proses keimanan. Dan keimanan itulah yang menjadi syarat bagi
orang berpuasa, yang ingin menuju kepada tingkatan 'bertakwa' alias menjalankan
ibadah dengan penuh keikhlasan karena Allah semata
5. Hati lebih lembut dan peka
Parameter ke lima yang bisa digunakan untuk mengukur keberhasilan puasa adalah
hati yang lembut dan peka. Hati lembut dan peka sebenamya adalah dua hal yang
saling terkait. Jika hatinya lembut, maka pasti juga peka. Sebaliknya jika
hatinya peka, dengan sendirinya ia lembut.
Hati lembut dan peka ini adalah hati para nabi dan rasul. Rasulullah saw adalah
orang yang hatinya sangat lembut. Punya kepedulian tinggi dan peka terhadap
penderitaan orang-orang di sekitarnya. Nabi Muhammad orang yang sulit menolak
ketika dimintai tolong. Meskipun beliau sendiri sedang dalam keadaan sulit.
Bukan hanya nabi Muhammad, nabi Ibrahim juga termasuk orang yang berhati lembut
dan penyantun. Hal itu dikemukakan oleh Allah, dibanggakan di dalam Al Our'an.
QS. At Taubah (9): 114
“Dan permintaan ampun dan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain
hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. maka
tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya Itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim
berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat
lembut hatinya lagi penyantun.
Dan memang begitulah karakter orang-orang yang bertakwa. Secara gamblang Allah
menyebutkan di ayat-ayat lain, bahwa orang orang yang bertakwa itu memiliki
sifat-sifat terpuji seperti : selalu membantu orang-orang yang sedang menderita,
baik ketika keadaan lapang atau sempit. dan lebih dari itu, mereka memiliki
sifat 'sulit marah' 'mudah memaafkan'.
QS. Ali Imran (3) : 133 134
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang orang yang bertakwa, (yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.
Ayat di atas benar-benar menunjukkan karakter yang terkontrol sepenuhnya.
Tidaklah mudah untuk bisa menolong orang lain, sementara kita sendiri dalam
keadaan terjepit. Juga tidaklah mudah untuk mengendalikan amarah, ketika kita
'disakiti' oleh orang lain. Apalagi dengan gampang memaafkannya. Sungguh itu
memerlukan kemampuan kontrol diri yang sangat tinggi. Tapi memang begitulah
makna 'takwa', yaitu bisa mengontrol diri dalam seluruh perbuatannya, karena
Allah semata.
Bukan karena terpaksa menahan amarah atau pun terpaksa memaafkan. Demikian pula,
bukan terpaksa ketika menolong orang lain. Melainkan, dia telah sangat memahami
tentang makna keikhlasan dalam menjalankan perintah Allah. Bahwa dengan
keikhlasan itu dia telah merendahkan egonya untuk mengagungkan Allah di atas
segala galanya, sebagai tujuan satu satunya dalam kehidupan ini ...
6. Ibadahnya lebih bermakna
Seseorang yang telah bisa mengontrol dirinya dengan baik, maka dia bakal bisa
meresapi makna ibadahnya. Apalagi tingkatan 'takwa' alias torkontrol itu
adalah tingkatan di atas 'iman' yakin atas dasar kefahaman.
Maka, dengan puasa itu kita berlatih untuk membiasakan diri dalam 2 hal. Yang
pertama, membiasakan diri untuk menerapkan kefahaman dan keyakinan kita dalam
bentuk amalan puasa. Dan yang kedua, adalah membiasakan dan menjaga kestabilan
kualitas puasa kita. Jika hal ini kita jalankan dengan istiqomah, hasilnya
adalah rasa kedekatan dengan Allah, yang menjadi kekuatan kontrol luar biasa
terhadap kelakuan kita sehari-hari.
'Rasa dekat' dengan Allah itulah yang bakal menjadikan seluruh ibadah kita bukan
hanya puasa menjadi lebih bermakna. Shalat kita akan 'ketularan' rasa dekat
itu. Sehingga, shalat bisa menjadi lebih khusyuk. Lebih bermakna.
Demikian pula puasa, lebih bermakna. Zakat dan Haji, juga lebih memberikan makna
dalam kehidupan beragama kita. Bukan cuma sekedar kewajiban, melainkan rasa
keikhlasan yang mendalam untuk menjalankan perintah itu semata-mata karena
Allah. Itulah yang dimaksudkan oleh Allah di dalam QS. Ali Imran: 102, bahwa
janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam (berserah diri kepada Allah
sepenuh keikhlasan)
7. Lebih tenang dan tawadlu'
Ketika seseorang telah mencapai keikhlasan yang tinggi, hatinya bakal tidak
pernah gelisah dan khawatir. la telah dapat merasakan bahwa segala sesuatu yang
terjadi dalam kehidupan ini adalah KehendakNya belaka. Karena itu, ia bisa
mengikhlaskannya.
Tidak mudah untuk mencapai tingkatan ikhlas, dalam arti yang sebenamya. Karena
kebanyakan kita ‘mengikhlaskan� sesuatu karena terpaksa mengikhlaskan. Bukan
keikhlasan yang sesungguhnya. Kenapa bisa terjadi demikian? Karena kita tidak
faham tentang apa yang kita lakukan. Dan, karena tidak faham, maka kita menjadi
tidak yakin. Lantas, karena tidak yakin itu, maka kita menjalaninya dengan
setengah hati.
Dalam firmanNya, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang disebut sebagai
waliullah itu tidak pernah merasakan khawatir dalam kehidupannya. Apa yang
ditemuinya dan apa yang dialaminya selalu memberikan kegembiraan kepadanya.
QS. Yunus (10) : 62 64
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatizan terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Yaitu) Orang orang yang beriman
dan mereka selalu bertakwa Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di
dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat Tibak ada perubahan bagi kalimat-kalimat
(janji-janji)Allah Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.
Inilah sebenamya puncak kualitas keagamaan kita di dalam ber islam. Suatu
kualitas kepribadian yang tenang, tawadlu' dan tidak pernah merasa khawatir atau
pun gelisah, karena keikhlasan yang mendalam. Secara ringkas, kualitas itu
disebut sebagai 'berserah diri' kepada Allah atau Islam. Makna Islam, juga bisa
berarti selamat, damai, dan sejahtera.
Namun harus diingat, bahwa 'berserah diri' itu berbeda dengan 'pasrah'. Kata
yang terakhir ini memiliki konotasi agak negatif, karena lantas tidak melakukan
upaya yang maksimal. Sedangkan makna 'berserah diri' berkonotasi positif. Yaitu,
melakukan 'kebajikan' sebanyak-banyaknya dengan cara mengikhlaskan untuk Allah
semata. makna itu tersirat di dalam firman Allah berikut ini.
QS. An Nisaa'(4):125
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama
lbrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
Semoga menjadi ibadah bagi kita semua...yang nulis maupun yang baca...aku istirahat dululah... udah jam 12...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment