"Hati"
My Blog List
Pages
Wednesday, August 10, 2011
10 Ramadhan Pertama
Monday, August 8, 2011
Setelah Witir Tidak Boleh Shalat Lagi, Benarkah?
"Sebenarnya Shalat Witir adalah Penutup Shalat Wajib. Setelah Shalat Isya Kerjakanlah Witir."
Ada dua pendapat di antara para ulama.
Pendapat pertama, mengatakan bahwa boleh melakukan shalat sunnah lagi sesukanya, namun shalat witirnya tidak perlu diulangi.
Pendapat ini adalah yang dipilih oleh mayoritas ulama seperti ulama-ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, pendapat yang masyhur di kalangan ulama Syafi’iyah dan pendapat ini juga menjadi pendapat An Nakho’i, Al Auza’i dan ‘Alqomah. Mengenai pendapat ini terdapat riwayat dari Abu Bakr, Sa’ad, Ammar, Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah. Dasar dari pendapat ini adalah sebagai berikut.
Pertama, ‘Aisyah menceritakan mengenai shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat 13 raka’at (dalam semalam). Beliau melaksanakan shalat 8 raka’at kemudian beliau berwitir (dengan 1 raka’at). Kemudian setelah berwitir, beliau melaksanakan shalat dua raka’at sambil duduk. Jika ingin melakukan ruku’, beliau berdiri dari ruku’nya dan beliau membungkukkan badan untuk ruku’. Setelah itu di antara waktu adzan shubuh dan iqomahnya, beliau melakukan shalat dua raka’at.” (HR. Muslim no. 738)
Kedua, dari Ummu Salamah, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat dua raka’at sambil duduk setelah melakukan witir (HR. Tirmidzi no. 471. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ketiga, dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa di antara kalian yang khawatir tidak bangun di akhir malam, maka berwitirlah di awal malam lalu tidurlah, ...” (HR. Tirmidzi no. 1187. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dipahami dari hadits ini bahwa jika orang tersebut bangun di malam hari –sebelumnya sudah berwitiri sebelum tidur-, maka dia masih diperbolehkan untuk shalat.
Adapun dalil yang mengatakan bahwa shalat witirnya tidak perlu diulangi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Tirmidzi no. 470, Abu Daud no. 1439, An Nasa-i no. 1679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Pendapat kedua, mengatakan bahwa tidak boleh melakukan shalat sunnah lagi sesudah melakukan shalat witir kecuali membatalkan shalat witirnya yang pertama, kemudian dia shalat dan witir kembali. Maksudnya di sini adalah jika sudah melakukan shalat witir kemudian punya keinginan untuk shalat sunnah lagi sesudah itu, maka shalat sunnah tersebut dibuka dengan mengerjakan shalat sunnah 1 raka’at untuk menggenapkan shalat witir yang pertama tadi. Kemudian setelah itu, dia boleh melakukan shalat sunnah (2 raka’at – 2 raka’at) sesuka dia, lalu dia berwitir kembali.
Inilah pendapat lainnya dari ulama-ulama Syafi’iyah. Mengenai pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Utsman, ‘Ali, Usamah, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas. Dasar dari pendapat ini adalah diharuskannya shalat witir sebagai penutup shalat malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)
Pendapat yang Terkuat
Dari dua pendapat di atas, pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama dengan beberapa alasan berikut.
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah setelah beliau mengerjakan shalat witir. Perbuatan beliau ini menunjukkan bolehnya hal tersebut.
Kedua, pendapat kedua yang membatalkan witir pertama dengan shalat 1 raka’at untuk menggenapkan raka’at, ini adalah pendapat yang lemah ditinjau dari dua sisi.
1. Witir pertama sudah dianggap sah. Witir tersebut tidaklah perlu dibatalkan setelah melakukannya. Dan tidak perlu digenapkan untuk melaksanakan shalat genap setelahnya.
2. Shalat sunnah dengan 1 raka’at untuk menggenapkan shalat witir yang pertama tadi tidaklah dikenal dalam syari’at.
Dengan dua alasan inilah yang menunjukkan lemahnya pendapat kedua.
Kesimpulan
Dari pembahasan kali ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil.
Pertama, bolehnya melakukan shalat sunnah lagi sesudah shalat witir.
Kedua, diperbolehkannya hal ini juga dengan alasan bahwa shalat malam tidak ada batasan raka’at sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Al Fatawa, 22/272).
Jika kita telah melakukan shalat tarawih ditutup witir bersama imam masjid, maka di malam harinya kita masih bisa melaksanakan shalat sunnah lagi. Sehingga tidak ada alasan untuk meninggalkan imam masjid ketika imam baru melaksanakan shalat tarawih 8 raka’at dengan niatan ingin melaksanakan shalat witir di rumah sebagai penutup ibadah atau shalat malam. Ini tidaklah tepat karena dia sudah merugi karena meninggalkan imam sebelum imam selesai shalat malam. Padahal pahala shalat bersama imam hingga imam selesai shalat malam disebutkan dalam hadits, “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Shahih).
Ketiga, adapun hadits Bukhari-Muslim yang mengatakan “Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir”, maka menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam di sini dihukumi sunnah (dianjurkan) dan bukanlah wajib karena terdapat dalil pemaling dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 395).
Demikian pembahasan kami dalam rangka menjawab pertanyaan seputar shalat tarawih yang kami bahas.
Semoga bermanfaat dan menjadi ilmu yang bermanfaat.
Sunday, August 7, 2011
Peliharalah Lidah Mu
Di antara hak kawan lagi ialah: Meninggalkan perbantahan atau pertengkaran terhadap segala yang diucapkan oleh saudaramu.
Berkata Ibnu Abbas: Jangan ajak bertengkar pada orang yang kurang akal, nanti ia akan membahayakan kamu. Jangan ajak bertengkar pada orang yang bersabar, nanti kamu dibencinya pula.
Rasullullah s.a.w telah bersabda:
“Barangsiapa meninggalkan pertengkaran sedang ia bersalah, akan dibina baginya sebuah rumah di dalam halaman syurga. Dan barangsiapa meninggalkan pertengkaran sedang ia benar (tidak salah), akan dibina baginya sebuah rumah di tempat tertinggi dalam syurga.”
Hadis tersebut menunjukkan betapa toleransi Agama Islam, padahal meninggalkan yang salah itu adalah wajib hukumnya. Tetapi Hadis itu telah menjadikan pahala melakukan sunnat di sini lebih besar. Sebab berdiam diri ketika dalam kebenaran itu lebih berat tekanannya atas diri daripada berdiam diri ketika dalam kesalahan atau kebatilan, dan sebenarnya pahala itu dikira atas kadar tanggungan.
Ingatlah, bahawa sebab yang paling berat sekali untuk menyalakan api kedengkian dalam hati sesama saudara, ialah dengan menimbulkan pertengkaran dan perbantahan. Kedua-dua sifat ini merupakan punca utama kepada permusuhan dan putus perhubungan. Bukanlah berputus hubungan itu mula-mulanya berlaku dengan timbulnya pendapat-pendapat yang berbeda-beda, kemudian dengan kata-kata yang tidak senang didengar oleh telinga, kemudian dengan beradu kekuatan atau berpukul-pukulan.
Nabi s.a.w. telah bersabda:
“Janganlah kamu bermusuh-musuhan, jangan benci-membenci, jangan dengki-mendengki, jangan berputus hubungan antara satu dengan yang lain dan jadilah kamu sekalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara-mara.”
Baginda bersabda lagi:
“Seseorang Muslim adalah saudara kepada Muslim yang lain, tiada boleh menganiyainya, atau menghalangi keperluannya, atau menghinanya. Memadailah seseorang itu dikira jahat, apabila ia menghina saudaranya Muslim yang lain.”
Ketahuilah, bahawa seberat-berat penghinaan terhadap kawan ialah melakukan perbantahan terhadapnya, sebab orang yang membantah kata-kata kawannya itu mungkin menganggap kawan itu bodoh, atau lalai, atau cuai dari memahami sesuatu perkara menurut semestinya. Itulah yang dikatakan penghinaan yang menyempitkan dada dan mengacau jiwa.
Abu Umamah meriwayatkan sebuah Hadis katanya: Pada suatu ketika Rasulullah s.a.w datang ke tempat kami, sedang kami lagi berbantah-bantahan, maka baginda pun murka lalu bersabda:
“Tinggalkanlah pertengkaran dan berbantah-bantahan, sebab amat sedikit sekali kebaikannya. Hindarkanlah pertengkaran dan berbantah-bantahan sebab tidak seberapa manfaatnya, malah ia akan menarik kepada permusuhan dan perselisihan antara sesama saudara.”
Setengah para salaf berkata: Orang yang mengata-nista saudaranya atau membantah-bantahnya, adalah orang yang rendah pekertinya dan yang telah lenyap penghormatanya dirinya.
Yang lain pula berkata: Awas! Jangan sekali-kali berbantah-bantahan dengan orang ramai. Sebab anda takkan berdaya menolak tipu daya seorang penyabar, atau menahan bencana seorang jahat.
Al-Hasan berkata pula: Tiada akan terbeli permusuhan seorang dengan kasih-sayang seribu orang.
Pendek kata tidak ada gunanya berbantah-bantahan, selain dari ingin menampakkan diri sebagai orang yang banyak akal dan lebih utama, serta menampakkan diri kawannya sebagai orang yang rendah dan masih bodoh.
Bukannkah itu menandakan takabbur dalam diri, menyimpan perasaan sombong, suka menghina dan mencaci orang lain sebagai kurang akal, bodoh dan jahil. Tidak ada pengertian lain yang lebih tepat dari yang tersebut itu, maka bagaimana dapat dibentuk persaudaraan yang sejati dan persefahaman.
Ibnu abbas pernah meriwayatkan dari Rasulullah s.a.w katanya, sabda baginda:
“Janganlah anda membantah saudaramu, dan janganlah pula bersenda gurau dengannya (yakni yang berlebih-lebihan), dan bila berjanji suatu perjanjian, maka janganlah anda memungkirinya.”
Sabda baginda lagi:
“Kamu tidak mungkin akan menguasai orang ramai dengan harta kekayaan kamu, tetapi kuasailah mereka dengan wajah yang berseri-seri dan budi pekerti yang luhur.”
Adapun sifat berbantah-bantahan itu adalah berlawanan dengan sifat budi pekerti yang luhur. Dan ketahuilah, bahawasanya asasnya persaudaraan itu ialah permuafakatan dalam perbicaraan, perlakuan dan sayang-menyayangi antara sesama saudara.
Semoga bermanfaat...dan dapat di jadikan parameter diri kita masing-masing.
Allahu'alam...