"Hati"

Tatalah hatimu! Tetapi kalau belum bisa menata hati, tatalah sendalmu dengan baik.

My Blog List

...Rumah Makan Harmoni (Depan BANK MANDIRI SYARIAH SUDIRMAN) terima karyawan wanita, diutamakan yang pandai membungkus nasi. hubungi Helmi 081268086958

Pages

Wednesday, September 29, 2010

Perpisahan Dengan Bulan Mulia (Ramadhan)


Tidak terasa sudah sebulan kita menjalani ibadah di bulan Ramadhan. Dan saatnya kita berpisah dengan bulan yang penuh barokah, bulan yang penuh rahmat dan ampunan Allah, serta bulan di mana banyak yang dibebaskan dari siksa neraka. Pada pembahasan kali ini, kami mengangkat sebuah pelajaran yang cukup berharga yang kami olah dari kitab Latho-if Al Ma’arif karangan Ibnu Rajab Al Hambali dengan judul “Wadha’ Ramadhan” (Perpisahan dengan Bulan Ramadhan), juga terdapat beberapa tambahan pembahasan dari kitab lainnya. Semoga kalimat-kalimat yang secuil ini bermanfaat bagi kita semua.

Sebab Ampunan Dosa di Bulan Ramadhan

Saudaraku, jika kita betul-betul merenungkan, Allah begitu sayang kepada orang-orang yang gemar melakukan ketaatan di bulan Ramadhan. Cobalah kita perhatikan dengan seksama, betapa banyak amalan yang di dalamnya terdapat pengampunan dosa. Maka sungguh sangat merugi jika seseorang meninggalkan amalan-amalan tersebut. Dia sungguh telah luput dari ampunan Allah yang begitu luas.

Cobalah kita lihat pada amalan puasa yang telah kita jalani selama sebulan penuh, di dalamnya terdapat ampunan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.”[1]

Pengampunan dosa di sini bisa diperoleh jika seseorang menjaga diri dari batasan-batasan Allah dan hal-hal yang semestinya dijaga.[2]

Begitu pula pada amalan shalat tarawih, di dalamnya juga terdapat pengampunan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[3]

Barangsiapa yang menghidupkan malam lailatul qadar dengan amalan shalat, juga akan mendapatkan pengampunan dosa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[4]

Amalan-amalan tadi akan menghapuskan dosa dengan syarat apabila seseorang melakukan amalan tersebut karena (1) iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan (2) mencari pahala di sisi Allah, bukan melakukannya karena alasan riya’ atau alasan lainnya.[5]

Adapun pengampunan dosa di sini dimaksudkan untuk dosa-dosa kecil sebagaimana pendapat mayoritas ulama.[6] Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

“Antara shalat yang lima waktu, antara jum’at yang satu dan jum’at berikutnya, antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan berikutnya, di antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.”[7] Yang dimaksud dengan pengampunan dosa dalam hadits riwayat Muslim ini, ada dua penafsiran:

Pertama, amalan wajib (seperti puasa Ramadhan, -pen) bisa memnghapus dosa apabila seseorang menjauhi dosa-dosa besar. Apabila seseorang tidak menjauhi dosa-dosa besar, maka amalan-amalan tersebut tidak dapat mengampuni dosa baik dosa kecil maupun dosa besar.

Kedua, amalan wajib dapat mengampuni dosa namun hanya dosa kecil saja, baik dia menjauhi dosa besar ataupun tidak. Dan amalan wajib tersebut sama sekali tidak akan menghapuskan dosa besar.[8]

Pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama bahwa dosa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil, sedangkan dosa besar bisa terhapus hanya melalui taubatan nashuhah (taubat yang sesungguhnya).[9]

Adapun pengampunan dosa pada malam lailatul qadar adalah apabila seseorang mendapatkan malam tersebut, sedangkan pengampunan dosa pada puasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) adalah apabila bulan Ramadhan telah sempurna (29 atau 30 hari). Dengan sempurnanya bulan Ramadhan, seseorang akan mendapatkan pengampunan dosa yang telah lalu dari amalan puasa dan amalan shalat tarawih yang ia laksanakan.[10]

Selain melalui amalan puasa, shalat malam di bulanRamadhan dan shalat di malam lailatul qadar, juga terdapat amalan untuk mendapatkan ampunan Allah yaitu melalui istighfar. Memohon ampun seperti ini adalah di antara bentuk do’a. Dan do’a orang yang berpuasa adalah do’a yang mustajab (terkabulkan), apalagi ketika berbuka.[11]

Begitu pula pengeluaran zakat fithri di penghujung Ramadhan, itu juga adalah sebab mendapatkan ampunan Allah. Karena zakat fithri akan menutupi kesalahan berupa kata-kata kotor dan sia-sia. Ulama-ulama terdahulu mengatakan bahwa zakat fithri adalah bagaikan sujud sahwi (sujud yang dilakukan ketika lupa, -pen) dalam shalat.[12]

Jadi dapat kita saksikan, begitu banyak amalan di bulan Ramadhan yang terdapat pengampunan dosa, bahkan itu ada sampai penutup bulan Ramadhan. Sampai-sampai Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Tatkala semakin banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja yang tidak mendapati pengampunan tersebut, sungguh dia telah terhalangi dari kebaikan yang banyak.”[13]

Seharusnya Keadaan Seseorang di Hari Raya Idul Fithri Seperti Ini

Setelah kita mengetahui beberapa amalan di bulan Ramadhan yang bisa menghapuskan dosa-dosa, maka seseorang di hari raya Idul Fithri, ketika dia kembali berbuka (tidak berpuasa lagi) seharusnya dalam keadaan bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya bersih dari dosa. Namun hal ini dengan syarat, seseorang haruslah bertaubat dari dosa besar yang pernah ia terjerumus di dalamnya, dia bertaubat dengan penuh rasa penyesalan.

Lihatlah perkataan Az Zuhri berikut, “Ketika hari raya Idul Fithri, banyak manusia yang akan keluar menuju lapangan tempat pelaksanaan shalat ‘ied, Allah pun akan menyaksikan mereka. Allah pun akan mengatakan, “Wahai hambaku, puasa kalian adalah untuk-Ku, shalat-shalat kalian di bulan Ramadhan adalah untuk-Ku, kembalilah kalian dalam keadaan mendapatkan ampunan-Ku.”

Ulama salaf lainnya mengatakan kepada sebagian saudaranya ketika melaksanakan shalat ‘ied di tanah lapang, “Hari ini suatu kaum telah kembali dalam keadaan sebagaimana ibu mereka melahirkan mereka.”[14]

Selepas Ramadhan, Para Salaf Khawatir Amalannya Tidak Diterima

Para ulama salaf terdahulu begitu semangat untuk menyempurnakan amalan mereka, kemudian mereka berharap-harap agar amalan tersebut diterima oleh Allah dan khawatir jika tertolak. Merekalah yang disebutkan dalam firman Allah,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (Qs. Al Mu’minun: 60)

‘Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Mereka para salaf begitu berharap agar amalan-amalan mereka diterima daripada banyak beramal. Bukankah engkau mendengar firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Ma-idah: 27)”

Dari Fudholah bin ‘Ubaid, beliau mengatakan, “Seandainya aku mengetahui bahwa Allah menerima dariku satu amalan kebaikan sebesar biji saja, maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya, karena Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Ma-idah: 27)”

Ibnu Diinar mengatakan, “Tidak diterimanya amalan lebih ku khawatirkan daripada banyak beramal.”

Abdul Aziz bin Abi Rowwad berkata, “Saya menemukan para salaf begitu semangat untuk melakukan amalan sholih. Apabila telah melakukannya, mereka merasa khawatir apakah amalan mereka diterima ataukah tidak.”

Oleh karena itu sebagian ulama sampai-sampai mengatakan, “Para salaf biasa memohon kepada Allah selama enam bulan agar dapat berjumpa dengan bulan Ramadhan. Kemudian enam bulan sisanya, mereka memohon kepada Allah agar amalan mereka diterima.”

Lihat pula perkataan ‘Umar bin ‘Abdul Aziz berikut tatkala beliau berkhutbah pada hari raya Idul Fithri, “Wahai sekalian manusia, kalian telah berpuasa selama 30 hari. Kalian pun telah melaksanakan shalat tarawih setiap malamnya. Kalian pun keluar dan memohon pada Allah agar amalan kalian diterima. Namun sebagian salaf malah bersedih ketika hari raya Idul Fithri. Dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya hari ini adalah hari penuh kebahagiaan.” Mereka malah mengatakan, “Kalian benar. Akan tetapi aku adalah seorang hamba. Aku telah diperintahkan oleh Rabbku untuk beramal, namun aku tidak mengetahui apakah amalan tersebut diterima ataukah tidak.”

Itulah kekhawatiran para salaf. Mereka begitu khawatir kalau-kalau amalannya tidak diterima. Namun berbeda dengan kita yang amalannya begitu sedikit dan sangat jauh dari amalan para salaf. Kita begitu “pede” dan yakin dengan diterimanya amalan kita. Sungguh, teramatlah jauh kita dengan mereka.

Bagaimana Mungkin Mendapatkan Pengampunan di Bulan Ramadhan?

Setelah kita melihat bahwa di bulan Ramadhan ini penuh dengan pengampunan dosa dari Allah Ta’ala, namun banyak yang menyangka bahwa dirinya kembali suci seperti bayi yang baru lahir selepas bulan Ramadhan, padahal kesehariannya di bulan Ramadhan tidak lepas dari melakukan dosa-dosa besar. Sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa dosa-dosa kecil bisa terhapus dengan amalan puasa, shalat malam dan menghidupkan malam lailatul qadar. Namun ingatlah bahwa pengampunan tersebut bisa diperoleh bila seseorang menjauhi dosa-dosa besar. Lalu bagaimanakah dengan kebiasaan sebagian kaum muslimin yang berpuasa namun menganggap remeh shalat lima waktu, bahkan seringkali meninggalkannya ketika dia berpuasa padahal meninggalkannya termasuk dosa besar?!

Sebagian kaum muslimin begitu semangat memperhatikan amalan puasa, namun begitu lalai dari amalan shalat lima waktu. Padahal dengan sangat nyata dapat kami katakan bahwa orang yang berpuasa namun enggan menunaikan shalat, puasanya tidaklah bernilai apa-apa. Bahkan puasanya menjadi tidak sah disebabkan meninggalkan shalat lima waktu.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan shalat tidaklah diterima karena orang yang meninggalkan shalat telah melakukan dosa kekafiran dan murtad. Dalil bahwa meninggalkan shalat termasuk bentuk kekafiran adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (Qs. At Taubah: 11)

Alasan lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.”[15]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” [16]“[17] Namun ini nyata terjadi pada sebagian orang yang menunaikan puasa. Mereka begitu semangat menunaikan puasa Ramadhan, namun begitu lalai dari rukun Islam yang lebih penting yang merupakan syarat sah keislaman seseorang yaitu menunaikan shalat lima waktu. Hanya Allah lah yang memberi taufik.

Lalu seperti inikah Idul Fithri dikatakan sebagai hari kemenangan sedangkan hak Allah tidak dipedulikan? Seperti inikah Idul Fithri disebut hari yang suci sedangkan ketika berpuasa dikotori dengan durhaka kepada-Nya? Kepada Allah-lah tempat kami mengadu, semoga Allah senantiasa memberi taufik. Ingatlah, meninggalkan shalat lima waktu bukanlah dosa biasa, namun dosa yang teramat bahaya.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” [18] Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.”[19]

Itulah kenyataan yang dialami oleh orang yang berpuasa. Kadang puasa yang dilakukan tidak mendapatkan ganjaran apa-apa atau ganjaran yang kurang dikarenakan ketika puasa malah diisi dengan berbuat maksiat kepada Allah, bahkan diisi dengan melakukan dosa besar yaitu meninggalkan shalat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.”[20] Jika demikian, di manakah hari kemenangan yang selalu dibesar-besarkan ketika Idul Fithri? Di manakah hari yang dikatakan telah suci lahir dan batin sedangkan hak Allah diinjak-injak? Lalu apa gunanya minta maaf kepada sesama begitu digembar-gemborkan di hari ied sedangkan permintaan maaf kepada Rabb atas dosa yang dilakukan disepelekan?

Takbir di Penghujung Ramadhan

Karena begitu banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan, kita diperintahkan oleh Allah di akhir bulan untuk bertakbir kepada-Nya dalam rangka bersyukur kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Qs. Al Baqarah: 185)

Yang dimaksud dengan takbir di sini adalah bacaan “Allahu Akbar”. Mayoritas ulama mengatakan bahwa ayat ini adalah dorongan untuk bertakbir di akhir Ramadhan. Sedangkan kapan waktu takbir tersebut, para ulama berbeda pendapat.

Pendapat pertama, takbir tersebut adalah ketika malam idul fithri.
Pendapat kedua, takbir tersebut adalah ketika melihat hilal Syawal hingga berakhirnya khutbah Idul Fithri.
Pendapat ketiga, takbir tersebut dimulai ketika imam keluar untuk melaksanakan shalat ied.
Pendapat keempat, takbir pada hari Idul Fithri.
Pendapat kelima yang merupakan pendapat Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i, takbir ketika keluar dari rumah menuju tanah lapang hingga imam keluar untuk shalat ‘ied.
Pendapat keenam yang merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, takbir tersebut adalah ketika Idul Adha dan ketika Idul Fithri tidak perlu bertakbir.[21]

Syukur di sini dilakukan untuk mensyukuri nikmat Allah berupa taufik untuk melakukan puasa, kemudahan untuk melakukannya, mendapat pembebasan dari siksa neraka dan ampunan yang diperoleh ketika melakukannya. Atas nikmat inilah, seseorang diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah, bersyukur kepada-Nya dan bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya takwa.

Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa sebenar-benarnya takwa adalah mentaati Allah tanpa bermaksiat kepada-Nya, mengingat Allah tanpa lalai dari-Nya dan bersyukur atas nikmat-nikmat Allah, tanpa kufur darinya.[22]

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd. Di penghujung bulan Ramadhan ini, hanyalah ampunan dan pembebasan dari siksa neraka yang kami harap-harap dari Allah yang Maha Pengampun. Kami pun berharap semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan, walaupun kami rasa amalan kami begitu sedikit dan begitu banyak kekurangan di dalamnya. Taqobbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amalan kami dan amalan kalian). Semoga Allah menjadi kita insan yang istiqomah dalam menjalankan ibadah selepas bulan Ramadhan.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat (Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna). Wa shallallahu wa salaamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.

Tuesday, September 28, 2010

Amalan Setelah Lebaran


Amalan lainnya yang bisa terus dijaga selepas Ramadhan adalah sebagai berikut:

Menjaga Shalat Malam

Inilah penyakit yang diderita oleh kaum muslimin setelah Ramadhan. Ketika Ramadhan masjid terlihat penuh pada saat qiyamul lail (shalat tarawih). Namun coba kita saksikan setelah Ramadhan, amalan shalat malam ini seakan-akan hilang begitu saja. Orang-orang lebih senang tidur nyenyak di malam hari hingga shubuh atau pagi tiba, dibanding bangun untuk mengambil air wudhu dan mengerjakan shalat malam. Seolah-olah amalan shalat malam ini hanya ada pada bulan Ramadhan saja yaitu ketika melaksanakan shalat tarawih. Seharusnya jika dia betul-betul menjalankan ibadah shalat tarawih dengan baik pasti akan membuahkan kebaikan selanjutnya.

Sebagian salaf mengatakan,

إِنَّ مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةَ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ بَعْدَهَا

“Sesungguhnya di antara balasan amalan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya. Dan di antara balasan dari amalan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir pada tafsir surat Al Lail)

Namun, ibadah shalat malam ini mungkin hanya ibadah musiman saja yaitu dilaksanakan hanya di bulan Ramadhan. Padahal keutamaan shalat malam ini amatlah banyak, di antaranya:

[1] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat setelah shalat wajib. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah –Muharram-. Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)

[2] Orang yang melakukan shalat malam dijamin masuk surga dan selamat dari adzab neraka. Dari Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا اَلنَّاسُ! أَفْشُوا اَلسَّلَام, وَصِلُوا اَلْأَرْحَامَ, وَأَطْعِمُوا اَلطَّعَامَ, وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ, تَدْخُلُوا اَلْجَنَّةَ بِسَلَامٍ

“Wahai manusia! Sebarkanlah salam, jalinlah tali silturahmi (dengan kerabat), berilah makan (kepada istri dan kepada orang miskin), shalatlah di waktu malam sedangkan manusia yang lain sedang tidur, tentu kalian akan masuk ke dalam surga dengan penuh keselamatan.” (HR. Tirmidzi no. 2485 dan Ibnu Majah no. 1334. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 569 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

[3] Orang yang melakukan shalat malam akan dicatat sebagai orang yang berdzikir kepada Allah
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ

“Apabila seseorang bangun di waktu malam, lalu dia membangunkan istrinya, kemudian keduanya mengerjakan shalat dua raka’at, maka keduanya akan dicatat sebagai pria dan wanita yang banyak berdzikir pada Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 1335. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah bahwa hadits ini shohih). Hadits ini menunjukkan bahwa suami istri dianjurkan untuk shalat malam berjama’ah.

[4] Orang yang bangun di malam hari kemudian berwudhu dan melakukan shalat malam, dia akan bersemangat di pagi harinya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَقِدَ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ ، يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ

“Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian belakang) salah seorang dari kalian ketika tidur. Di setiap ikatan setan akan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah!” Jika dia bangun lalu berdzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan. Kemudian jika dia berwudhu, lepas lagi satu ikatan. Kemudian jika dia mengerjakan sholat, lepaslah ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira. Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi malas.” (HR. Bukhari no. 1142 dan Muslim no. 776)

Sangat disayangkan sekali, sebagian orang lebih memilih tidur pulas di malam hari daripada bangun shalat malam. Inilah orang-orang yang mendapat celaan yaitu akan dikencingi setan sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.

Dari Abu Wa’il, dari Abdullah, beliau berkata, “Ada yang mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam
bahwa terdapat seseorang yang tidur malam hingga shubuh (maksudnya tidak bangun malam, pen). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,

« ذَلِكَ الشَّيْطَانُ بَالَ فِى أُذُنَيْهِ ».

“Demikianlah setan telah mengincingi kedua telinganya.” (HR. An Nasa’i no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1330. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 640 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Hendaklah kita merutinkan amalan shalat malam ini di luar ramadhan sebagaimana kita rajin mengerjakannya di bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang dulu gemar shalat malam, namun sekarang dia meninggalkannya.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,

« يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ »

“Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si A. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” (HR. Bukhari no. 1152)

Sebaik-baik orang adalah yang mau mengerjakan shalat malam jika tidak berhalangan karena kecapekan atau ingin mengulang pelajaran sebagaimana Abu Hurairah.

نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ ، لَوْ كَانَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik orang adalah Abdullah bin Umar, seandainya dia biasa mengerjakan shalat malam.” (HR. Bukhari no. 1122 dan Muslim no. 2479)

Padahal shalat malam itu mudah dikerjakan, bisa dengan hanya mengerjakan shalat tahajud 2 raka’at dan ditutup witir 1 raka’at, namun sebagian orang enggan mengerjakan shalat yang utama ini.

Amalan yang Kontinu (Ajeg), Amalan yang Paling Dicintai

Kalau memang kita gemar melakukan shalat malam atau amalan sunnah yang lainnya, maka hendaklah amalan-amalan tersebut tetap dijaga. Kalau biasa mengerjakan shalat malam 3 raka’at dan dilakukan terus menerus (walaupun jumlah raka’at yang dikerjakan sedikit), maka itu masih mending daripada tidak shalat malam sama sekali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اكْلَفُوا مِنَ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“Bebanilah diri kalian dengan amal sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 1228 mengatakan hadits ini shohih)

Ingatlah bahwa rajin ibadah bukanlah hanya di bulan Ramadhan saja. Ulama salaf pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin beribadah di bulan Ramadhan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun meninggalkan ibadah-ibadah tersebut. Dia pun menjawab,

بِئْسَ القَوْمُ لاَ يَعْرِفُوْنَ اللهَ حَقًّا إِلاَّ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ

“Alangkah buruknya tingkah mereka; mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!” (Lihat Latho’if Ma’arif, 244)

Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengingatmu di waktu sempit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَرَّفْ إِلَي اللهِ فِى الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ

“Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah.” (HR. Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Bid’ah di Bulan Syawal

Ada beberapa bid’ah yang sebaiknya dijauhi oleh setiap muslim di bulan Syawal:

[1] Beranggapan sial jika menikah pada bulan Syawal

Mungkin bid’ah semacam ini jarang terjadi di tempat kita. Malah kebanyakan kaum muslimin di negeri ini melaksanakan hajatan nikah ketika Syawal karena pada saat itu adalah waktu semua kerabat berkumpul berlebaran.

Namun, inilah bid’ah yang terjadi di masa silam dulu (masa jahiliyah). Mereka enggan melaksanakan hajatan nikahan ketika bulan Syawal. Itulah i’tiqod (keyakinan) mereka. Sedangkan di negeri kita, bukan bulan Syawal yang dianggap sial, tetapi bulan Suro (Muharram). Kedua anggapan ini adalah anggapan yang salah. Mengenai anggapan sial nikah di bulan Syawal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah membantah hal ini. Sebagaimana terdapat riwayat dalam Sunan Ibnu Majah (haditsnya dishohihkan oleh Syaikh Al Albani) bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pada bulan Syawal dan keluarga beliau tetap harmonis.

Menganggap bulan Suro atau bulan Syawal sebagai bulan sial untuk melaksanakan beberapa hajatan adalah anggapan yang terlarang dalam agama ini. Beranggapan sial dengan bulan atau waktu sama saja dengan mencelanya. Dan mencela waktu itu sama saja dengan mencela yang menciptakan waktu yaitu Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menyatakan bahwa beranggapan sial seperti ini termasuk kesyirikan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ »

“Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda), tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan tawakkal (pada Allah).” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)

[2] ‘Idul Abror (’Ied pada tanggal 8 Syawal atau diistilahkan dengan Lebaran Ketupat)

Ini adalah bid’ah yang terjadi di beberapa daerah di negeri kita. Entah namanya apa, tetapi maksud dari acara tersebut itu sama.

Sebelumnya mereka melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Lalu mereka berbuka (tidak berpuasa) pada tanggal 1 Syawal. Setelah itu –mulai tanggal 2 Syawal-, mereka melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Lalu pada hari kedelepan dari bulan Syawal, mereka merayakan ‘ied (yang di kalangan Arab dikenal dengan ‘Idul Abror).

Abror di sini bermakna orang baik lawan dari orang fajir yang gemar berbuat maksiat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah perayaan ied semacam ini dengan mengatakan,

“Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebutkan dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Adapun perayaan hari ke-8 Syawal, maka itu bukanlah ‘ied (yang disyari’atkan). Ini bukanlah ‘ied bagi abror (orang sholih/baik) atau pun orang fajir (yang gemar bermaksiat). Tidak boleh bagi seorang pun meyakini perayaan ini sebagai ‘ied. Janganlah membuat ‘ied yang baru selain ‘ied yang sudah ada dalam agama ini (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha).” (Al Ikhtiyarot Al Fiqhiyyah, 199)

Demikian pembahasan seputar amalan yang sebaiknya dilakukan setelah Ramadhan dan perkara yang sebaiknya dijauhi oleh setiap muslim. Semoga kita termasuk orang yang selalu mendapat taufik Allah dan dimudahkan untuk istiqomah dalam agama ini.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam