"Hati"

Tatalah hatimu! Tetapi kalau belum bisa menata hati, tatalah sendalmu dengan baik.

My Blog List

...Rumah Makan Harmoni (Depan BANK MANDIRI SYARIAH SUDIRMAN) terima karyawan wanita, diutamakan yang pandai membungkus nasi. hubungi Helmi 081268086958

Pages

Saturday, August 27, 2011

Keberhasilan Puasa Kaitannya dengan Taqwa


Menjadi bertakwa, sebenamya sebuah proses untuk kembali kepada fitrah kita
sebagai manusia. Bertingkah laku sebagai manusia yang berbudaya tinggi. Bukan
hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk seluruh alam karena kita adalah
khalifah Allah di muka bumi.

Maka manifestasi sifat takwa adalah berbuat baik pada diri sendiri, berbuat baik
pada orang lain, berbuat baik pada lingkungan, dan beramal shalih dengan
mengikhlaskan ketaatan hanya kepada Allah semata. Semuanya berpadu dalam sebuah
keseimbangan.

Dalam kaitannya dengan ibadah puasa, maka takwa yang seperti itulah yang dipatok
sebagai tujuan. Jadi, puasa yang baik dan berhasil adalah puasa yang membawa
dampak pada ke empat hal tersebut, yaitu terjadi peningkatan kualitas diri
sendiri, peningkatan kualitas hubungan dengan sesama, peningkatan kualitas
terhadap lingkungannya, dan peningkatan kualitas hubungan dengan Allah.

Pada saat seseorang mencapai semua itu, maka sebenamya dia telah kembali kepada
fitrahnya sebagai manusia yang sesungguhnya insan kamil manusia yang sempurna.

Apakah tanda-tanda yang bisa dijadikan parameter untuk mengukur keberhasilan
puasa kita?

1. Badan lebih sehat

2. Emosi lebih rendah

3. Pikiran lebih jemih

4. Sikap lebih bijaksana

5. Hati lebih lembut dan peka

6. lbadahnya lebih bermakna

7. Lebih tenang dan tawadlu' dalam menjalani hidup

Dan masih banyak lagi manfaat lain yang bisa kita ukur dari efek puasa. Namun,
dengan mengukur ke 7 parameter itu kita sudah bisa memperoleh gambaran yang
komprehensif tentang berhasil tidaknya puasa kita dalam mengubah karakter
seseorang menjadi lebih bertakwa.

1. Badan Lebih Sehat

Ketakwaan seseorang, sebagai bentuk hasil puasa, salah satunya bisa diukur dari
kondisi kesehatannya. Puasa yang baik adalah puasa yang mampu mengubah pola
makan seseorang secara lebih sehat.

Kenapa takwa bisa membawa kita pada kondisi lebih sehat? Sebab, orang yang
bertakwa adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam hal makan, minum
dan gaya hidupnya. la sudah terbiasa dengan pengendalian diri selama bulan
puasa. Karena itu, menjadi mudah baginya untuk mengendalikan diri pada hari hari
di luar bulan puasa.

Jadi, ada dua hal yang menyebabkan dia menjadi sehat. Yang pertama, dia telah
melakukan puasa dengan benar selama bulan puasa, sehingga terjadi proses
penyehatan dalam dirinya. Mulai dari penggelontoran racun-racun dalam tubuh
(detoksifikasi), peremajaan sel sel (rejuvenasi) dan penyeimbangan kembali
sistem kesehatannya (stabilisasi).

Yang kedua, setelah berpuasa itu, ia masih tetap menjaga pola makan dan gaya
hidupnya di luar bulan puasa. Sehingga, badan tetap dalam kondisi terbaik dan
keseimbangannya. Akan menjadi lebih baik, jika di luar bulan puasa ia juga masih
sering berpuasa. Itu akan menjaga kestabilan kondisi badannya.

2. Emosi lebih rendah

Jika selama berpuasa kita mengikuti cara-cara yang diajarkan oleh Rasulullah
saw, maka bisa dipastikan emosi kita bakal lebih rendah. Sebab, berpuasa memang
bukan hanya mengendalikan diri untuk tidak makan dan tidak minum, melainkan juga
melatih emosi agar selalu dalam kendali akal.

Kondisi lapar dan haus memiliki peran yang cukup besar untuk selalu mengingatkan
kita dalam menjaga puasa agar tetap afdhol. Tidak emosional.

Emosi adalah manifestal dari ego seseorang. Emosi biasanya berkait dengan
kepentingan pribadi yang tidak kesampaian. Misalnya, marah, benci, dendam, iri,
dan dengki.

Puasa yang baik adalah puasa yang mampu mengendalikan emosi. Bukan sekadar
'menahan diri' untuk tidak melampiaskan, melainkan 'mengerti' bahwa hal itu tidak perlu dilampiaskan, sebab hanya akan merugikan semua pihak. Termasuk
dirinya sendiri. Lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya.

Nah, 'mengerti' itulah sebenamya manifestasi dari keimanan seseorang. Bukan
terpaksa 'menahan diri'. Jika sekadar keterpaksaan, maka lain kali akan dengan
mudah kita lakukan.

Atau, kalaupun tidak, pada saat kita terpaksa menahan diri itu, kita sebenamya
sedang membangun 'penderitaan'. Padahal, 'kebaikan' mestinya tidak membawa kita
kepada belenggu yang menyengsarakan, melainkan membawa kita pada 'kebebasan'
yang membahagiakan.

Karena itu, puasa. yang baik adalah puasa yang membawa kita kepada kebahagiaan
ketika kita bisa berlaku tidak emosional. Karena kita telah terbebas dari
belenggu emosi kita sendiri.

3. Pikiran lebih jernih

Pikiran jernih disebabkan oleh dua hal. Yang pertama, makan yang tidak terlalu
banyak sehingga tidak menyebabkan kerja otak terganggu oleh kantuk. Dan yang
kedua, emosi yang rendah karena kita 'faham' bahwa emosi tinggi hanya
menyebabkan pikiran kita suntuk, jengkel, dan tidak terkontrol.

Sebaliknya, orang yang tidak terlalu kenyang dibarengi dengan emosi rendah, maka
pikirannya bakal lebih jemih dalam menghadapi berbagai macam persoalan.

Pikiran yang jernih menyebabkan akal kita berjalan secara proporsional.
Orientasinya mengarah kepada kemanfaatan dan kemaslahatan bersama. Sebab jika,
hanya bermanfat pada diri sendiri, itu berarti merugikan orang lain. Jika kita
merugikan orang lain, maka kita sedang menanam potensial masalah di masa depan,
yang nantinya bakal merepotkan kita sendiri.

Jadi berpikir jernih adalah berpikir untuk kebahagiaan kita semua. Jika kita
bisa berpikir jemih berarti kita telah berhasil dalam puasa kita. Dengan kata
lain kita telah menjadi orang yang bertakwa. Sebab, ini memang menjadi salah
satu parameter berhasil tidaknya seseorang untuk mencapai kualitas 'Takwa'

4. Sikap lebih bijaksana

Parameter keberhasilan puasa kita juga terlihat dari sikap yang lebih bijaksana.
Bijaksana adalah dampak berikutnya setelah kita bisa berpikir jernih. Orang yang
tidak bisa berpikir jernih, bisa dipastikan tidak bijaksana.

Yang ada di benaknya adalah kepentingan-kepentingan sempit. Misalnya, hanya
berpihak kepada diri sendiri atau golonganya saja. Orang yang demikian adalah
orang yang tidak bijaksana.

Atau, orang-orang yang hanya berpikir untuk kepentingan jangka pendek saja,
tidak mau tahu bahwa dalam jangka panjangnya bakal menciptakan problem bagi
generasi berikutnya. Dan lain sebagainya, yang intinya tidak bisa berpikir
jernih dalam memandang persoalan, dan kemudian membuat keputusan yang berwawasan
sempit.

Puasa mengajari kita untuk bersikap bijaksana, sekaligus melatih dalam kurun
waktu tertentu. Perintah untuk berlapar dahaga, mengendalikan diri, dan
sekaligus ikhtisaban (selalu melakukan evaluasi) berdasarkan iman (faham &
yakin) telah mendorong kita menjadi orang yang bijaksana.

Kebijaksanaan tidak bisa dipaksakan, melainkan dilatih berdasarkan kesadaran dan
kefahaman. Justru, jika kita melatih dengan rasa terpaksa, maka yang muncul
adalah ketidakbijaksanaan. Yaitu, ingin selalu memaksakan kehendak kepada diri
sendiri maupun orang lain.

Kebijaksanaan muncul dari keikhlasan. Keikhlasan adalah akibat dari keyakinan.
Keyakinan berakar kuat setelah kita memperoleh kefahaman. Dan kefahaman kita
dapatkan dari pembelajaran yang intensif sepanjang usia kita. Itulah yang
disebut sebagai proses keimanan. Dan keimanan itulah yang menjadi syarat bagi
orang berpuasa, yang ingin menuju kepada tingkatan 'bertakwa' alias menjalankan
ibadah dengan penuh keikhlasan karena Allah semata

5. Hati lebih lembut dan peka

Parameter ke lima yang bisa digunakan untuk mengukur keberhasilan puasa adalah
hati yang lembut dan peka. Hati lembut dan peka sebenamya adalah dua hal yang
saling terkait. Jika hatinya lembut, maka pasti juga peka. Sebaliknya jika
hatinya peka, dengan sendirinya ia lembut.

Hati lembut dan peka ini adalah hati para nabi dan rasul. Rasulullah saw adalah
orang yang hatinya sangat lembut. Punya kepedulian tinggi dan peka terhadap
penderitaan orang-orang di sekitarnya. Nabi Muhammad orang yang sulit menolak
ketika dimintai tolong. Meskipun beliau sendiri sedang dalam keadaan sulit.

Bukan hanya nabi Muhammad, nabi Ibrahim juga termasuk orang yang berhati lembut
dan penyantun. Hal itu dikemukakan oleh Allah, dibanggakan di dalam Al Our'an.

QS. At Taubah (9): 114

“Dan permintaan ampun dan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain
hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. maka
tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya Itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim
berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat
lembut hatinya lagi penyantun.

Dan memang begitulah karakter orang-orang yang bertakwa. Secara gamblang Allah
menyebutkan di ayat-ayat lain, bahwa orang orang yang bertakwa itu memiliki
sifat-sifat terpuji seperti : selalu membantu orang-orang yang sedang menderita,
baik ketika keadaan lapang atau sempit. dan lebih dari itu, mereka memiliki
sifat 'sulit marah' 'mudah memaafkan'.

QS. Ali Imran (3) : 133 134

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang orang yang bertakwa, (yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.

Ayat di atas benar-benar menunjukkan karakter yang terkontrol sepenuhnya.
Tidaklah mudah untuk bisa menolong orang lain, sementara kita sendiri dalam
keadaan terjepit. Juga tidaklah mudah untuk mengendalikan amarah, ketika kita
'disakiti' oleh orang lain. Apalagi dengan gampang memaafkannya. Sungguh itu
memerlukan kemampuan kontrol diri yang sangat tinggi. Tapi memang begitulah
makna 'takwa', yaitu bisa mengontrol diri dalam seluruh perbuatannya, karena
Allah semata.

Bukan karena terpaksa menahan amarah atau pun terpaksa memaafkan. Demikian pula,
bukan terpaksa ketika menolong orang lain. Melainkan, dia telah sangat memahami
tentang makna keikhlasan dalam menjalankan perintah Allah. Bahwa dengan
keikhlasan itu dia telah merendahkan egonya untuk mengagungkan Allah di atas
segala galanya, sebagai tujuan satu satunya dalam kehidupan ini ...

6. Ibadahnya lebih bermakna

Seseorang yang telah bisa mengontrol dirinya dengan baik, maka dia bakal bisa
meresapi makna ibadahnya. Apalagi tingkatan 'takwa' alias torkontrol itu
adalah tingkatan di atas 'iman' yakin atas dasar kefahaman.

Maka, dengan puasa itu kita berlatih untuk membiasakan diri dalam 2 hal. Yang
pertama, membiasakan diri untuk menerapkan kefahaman dan keyakinan kita dalam
bentuk amalan puasa. Dan yang kedua, adalah membiasakan dan menjaga kestabilan
kualitas puasa kita. Jika hal ini kita jalankan dengan istiqomah, hasilnya
adalah rasa kedekatan dengan Allah, yang menjadi kekuatan kontrol luar biasa
terhadap kelakuan kita sehari-hari.

'Rasa dekat' dengan Allah itulah yang bakal menjadikan seluruh ibadah kita bukan
hanya puasa menjadi lebih bermakna. Shalat kita akan 'ketularan' rasa dekat
itu. Sehingga, shalat bisa menjadi lebih khusyuk. Lebih bermakna.

Demikian pula puasa, lebih bermakna. Zakat dan Haji, juga lebih memberikan makna
dalam kehidupan beragama kita. Bukan cuma sekedar kewajiban, melainkan rasa
keikhlasan yang mendalam untuk menjalankan perintah itu semata-mata karena
Allah. Itulah yang dimaksudkan oleh Allah di dalam QS. Ali Imran: 102, bahwa
janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam (berserah diri kepada Allah
sepenuh keikhlasan)

7. Lebih tenang dan tawadlu'

Ketika seseorang telah mencapai keikhlasan yang tinggi, hatinya bakal tidak
pernah gelisah dan khawatir. la telah dapat merasakan bahwa segala sesuatu yang
terjadi dalam kehidupan ini adalah KehendakNya belaka. Karena itu, ia bisa
mengikhlaskannya.

Tidak mudah untuk mencapai tingkatan ikhlas, dalam arti yang sebenamya. Karena
kebanyakan kita ‘mengikhlaskan� sesuatu karena terpaksa mengikhlaskan. Bukan
keikhlasan yang sesungguhnya. Kenapa bisa terjadi demikian? Karena kita tidak
faham tentang apa yang kita lakukan. Dan, karena tidak faham, maka kita menjadi
tidak yakin. Lantas, karena tidak yakin itu, maka kita menjalaninya dengan
setengah hati.

Dalam firmanNya, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang disebut sebagai
waliullah itu tidak pernah merasakan khawatir dalam kehidupannya. Apa yang
ditemuinya dan apa yang dialaminya selalu memberikan kegembiraan kepadanya.

QS. Yunus (10) : 62 64

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatizan terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Yaitu) Orang orang yang beriman
dan mereka selalu bertakwa Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di
dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat Tibak ada perubahan bagi kalimat-kalimat
(janji-janji)Allah Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.

Inilah sebenamya puncak kualitas keagamaan kita di dalam ber islam. Suatu
kualitas kepribadian yang tenang, tawadlu' dan tidak pernah merasa khawatir atau
pun gelisah, karena keikhlasan yang mendalam. Secara ringkas, kualitas itu
disebut sebagai 'berserah diri' kepada Allah atau Islam. Makna Islam, juga bisa
berarti selamat, damai, dan sejahtera.

Namun harus diingat, bahwa 'berserah diri' itu berbeda dengan 'pasrah'. Kata
yang terakhir ini memiliki konotasi agak negatif, karena lantas tidak melakukan
upaya yang maksimal. Sedangkan makna 'berserah diri' berkonotasi positif. Yaitu,
melakukan 'kebajikan' sebanyak-banyaknya dengan cara mengikhlaskan untuk Allah
semata. makna itu tersirat di dalam firman Allah berikut ini.

QS. An Nisaa'(4):125

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama
lbrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.

Semoga menjadi ibadah bagi kita semua...yang nulis maupun yang baca...aku istirahat dululah... udah jam 12...


Wednesday, August 24, 2011

Doa Perpisahan (dengan) Ramadhan

Salah satu adab melepas bulan Ramadhan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para pengikutnya adalah membacakan Doa Perpisahan.

Doa Perpisahan tersebut sebaiknya dibaca pada malam terakhir Ramadhan. Namun, sekiranya ada kekhawatiran malam terakhir Ramadhan akan berlalu tanpa diketahui, maka dianjurkan untuk membacanya pada kedua malam terakhir Ramadhan, yaitu malam ke 29 (malam ini) dan ke 30.

Berikut saya bagikan beberapa alternatif doa perpisahaan tersebut dalam versi Bahasa Indonesia (dapat dipilih salah satu atau dibaca semuanya):

Doa 1

Dari Jabir bin Abdillah ra dari Muhammad al Mustafa SAW: Beliau bersabda, “Siapa yang membaca doa ini di malam terakhir Ramadhan, ia akan mendapatkan salah satu dari dua kebaikan: menjumpai Ramadhan mendatang atau pengampunan dan rakhmat Allah.”

“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan puasa ini sebagai puasa yang terakhir dalam hidupku. Seandainya Engkau berketetapan sebaliknya, maka jadikanlah puasaku ini sebagai puasa yang dirakhmati bukan yang hampa semata”

Doa 2

Ya Allah, dalam kitab yang Kau wahyukan (kepada Nabi Muhammad SAW), Engkau berfirman: “Bulan Ramadhan adalah bulan yang diturunkannya Al Qur’an di dalamnya”. Tetapi sebentar lagi berlalu. Aku mohonkan padaMu dengan perantaraan WajahMu yang mulia, dengan perantaraan kalimat-kalimatMu yang sempurna, seandainya masih tersisa padaku dosa yang belum Kau ampuni, atau dosa yang (menyebabkan) aku disiksa karenanya (hingga) terbitnya fajar malam ini, atau hingga berlalunya bulan ini, maka ampunilah semuanya, wahai Dzat Yang Paling Pengasih dari semua yang mengasihi.

Ya Allah, bagiMu segala pujian. Segala pujian yang telah Kau ucapkan untuk diriMu sendiri, segala pujian sungguh-sungguh yang diungkapkan hambaMu yang bijak dan senantiasa berzikir dan bersyukur kepadaMu. Merekalah orang-orang yang telah Kau bantu menunaikan hak-hakMu dari sebagian makhlukMu yang tersebar di alam ini, baik dari kalangan malaikat yang dekat denganMu ataupun nabi-nabi yang telah Engkau utus ataupun orang-orang yang berfikir ataupun dari kalangan mereka yang bertasbih kepadaMu.

Sungguh, Engkau telah mengantar kami ke bulan Ramadhan ini dan telah mengaruniai kami kenikmatan dan anugerah. Engkau telah menampakkan kemurahan dan pemberianMu. Karenanya, padaMu bermuara segala sanjungan yang abadi, kekal, dan menetap selamanya. Betapa agung sebutanMu.

Tuhanku, bantulah aku menjalani bulan Ramadhan sehingga Engkau sempurnakan puasa, shalat dan segala kebaikan, syukur dan dzikir kami di bulan ini. Oh Tuhanku, terimalah puasaku dengan sebaik-baiknya penerimaan, perkenanan, maaf, kemurahan, pengampunan, dan hakikat keridaanMu. Sehingga Kau memenangkan aku dengan segala kebaikan yang dituntut, segala anugerah yang Kau curahkan di bulan ini. Selamatkanlah aku di dalamnya dari kekhawatiran terhadap bencana yang mengancam atau dosa yang berlangsung terus.

Duhai Tuhanku, aku bermohon padaMu dengan keagungan yang diminta hambaMu dari kemuliaan nama-nama dan keindahan pujianMu dan dari para pengharap yang istimewa. Sudilah Engkau mencurahkan rakhmatMu kepada Muhammad dan keluarganya. Dan agar Kau jadikan bulan ini seagung-agungnya Ramadhan, yang telah berlalu dari kami sejak Engkau turunkan ke dunia, sebagai berkah dalam menjaga agama, jiwa dan segala kebutuhanku. Juga berkatilah aku dalam semua persoalan, sempurnakanlah pemberian nikmatMu, palingkanlah aku dari keburukan dan hiasi aku dengan busana kesucian di bulan ini.

Demikian pula, dengan rakhmatMu golongkanlah aku ke dalam orang-orang yang mendapatkan (keutamaan) malam al-Qadar. Malam yang telah Kau tetapkan lebih baik dari seribu bulan dalam keagungan ganjaran, kemuliaan perbendaharaan, keindahan syukur, panjang umur, dan kemudahannya yang berlanjut.

Oh Tuhanku, aku bermohon dengan perantaraan rakhmat, kebaikan, ampunan, karunia, keluhuran, kebaikan, dan pemberianMu. Janganlah Engkau jadikan Ramadhan ini sebagai kesempatan terakhirku. Sudilah Engkau mengantar aku hingga Ramadhan berikutnya dalam keadaan yang paling baik. Perlihatkan aku hilal Ramadhan berikutnya, bersama orang-orang yang melihat keleluasaan rakhmatMu. Dan limpahkanlah anugerahMu, wahai Tuhanku. Tiada ada Tuhan selain Allah.

Semoga perpisahanku dengan bulan Ramadhan ini bukanlah perpisahan untuk selamanya dan bukan pula akhir pertemuanku. Sehingga aku dapat kembali bertemu pada tahun mendatang dalam keadaan penuh keluasan rezaki dan keutamaan harapan. Kini aku berada di hadapanMu dengan penuh kesetiaan. Sesungguhnya Engkay Maha Mendengar segala doa. Ya Allah, dengarkanlah pengaduanku ini. Perhatikanlah rintihan, kerendahan, kepapaan dan penyerahan diriku ini.

Aku berserah diri padaMu, Tuhanku. Aku tidak mengharapkan kemenangan, ampunan, kemuliaan, dan penyampaian (kepada cita-citaku) kecuali padaMu. Anugerahilah aku keagungan pujianMu, kesucian nama-namaMu, dan kesampaianku kepada Ramadhan berikutnya dalam keadaan terbebas dari semua keburukan, kekhawatiran dan ganjalan. Segala puji untukMu semata, yang telah membantu kami untuk menunaikan puasa dan mendirikan qiyamul lail di bulan Ramadhan ini, hingga malamnya yang terakhir.”

Hanya denga cara beginilah aku bisa berdakwah...aku bukanlah seorang yang berilmu tinggi...

Semoga menjadi ibadah bagi kita semua.

Sunday, August 21, 2011

Menjelang Akhir Ramadhan

Setelah beberapa hari kehilangan ide nulis...ini aku datang lagi...

Ya Allah, betapa kami tak bisa berbuat lebih banyak di rama-dhan ini. Betapa kami hanya mampu untuk mereguk nikmat, mereguk senang, tanpa bisa sedikit pun berikan yang terbaik untukMu. Di bulan ini kami lebih banyak meminta ketimbang mengerjakan seruanMu. Ramadhan bagi sebagian dari kami, tak ubahnya sebuah pesta. Ramadhan bagi segolongan dari kami, sekadar ekstravaganza ibadah. Nyaris hanya secuil yang bisa kami maknai kemuliaannya.

Ya Allah, kami ingin mengadu kepadaMu. Meski kami malu karena selalu memalingkan wajah dari perintahMu. Kami mencoba meng-hempaskan beban yang kami derita. Kami ber-upaya untuk membuang semua penat di jiwa kami. Di akhir ramadhan ini kami cuma bisa mengeluh. Bahkan adakalanya keluhan itu bersumber dari kebodohan kami yang buta atas titahMu. Sepertinya kami tak pantas berbagi dengan-Mu. Terlalu banyak persoalan yang sebenarnya bersumber dari kesombongan kami, kejahilan kami, dan dari bebalnya kami.

Ya Allah, ijinkan kami untuk bersimpuh di hadapan-Mu. Melunturkan dosa dan memu-darkan penyakit yang berkarat di hati. Meski kami malu membeberkan luka-luka ini. Karena luka yang kami miliki, juga akibat kami tak mampu memenuhi syariatMu. Kami merasa berada di dalam sebuah lorong yang gelap, dingin, sepi dan sunyi. Hati kami terasa kering, meski setiap hari dibasuh dengan kalimat-kalimatMu yang sejuk. Jiwa kami berdebu, mes-ki setiap detik disapu firmanMu. Ramadhan bagi kami, ternyata hanya menyisakan luka, perih, dan sepi.

Sebagian dari kami tak bisa meman-faatkan kesempatan di bulan suci ini. Kami lebih suka menjadikannya sebagai sarana me-mupuk popularitas dan kekayaan. Kami pilu, ketika sebagian dari kami, umat Nabi Muhammad saw. ini, lebih menikmati ramadhan dengan gemerlap di layar kaca.

Mereka menutupi wajahnya dengan topeng. Bahkan berani menipu kami. Memen-jarakan kami ke ruang gelap sebuah kenistaan. Itu sebabnya, hari-hari kami sepanjang ramadhan ini, lebih banyak dihabiskan untuk menemani mereka di layar kaca membawakan program-program spesial ramadhan yang dikemas amat menghibur.

Di akhir ramadhan ini, luluskanlah permintaan kami untuk menyampaikan sesuatu, meski apa yang akan kami sampaikan Engkau pasti sudah mengetahuinya. Kami mencoba meraih sisa-sisa kekuatan kami yang nyaris musnah ditelan kesombongan kami.

Akhir ramadhan yang membosankan kami. Mungkin sebagian dari kami merasa memiliki sesuatu yang berharga untuk menjadi bekal setelah ramadhan. Tapi sebagian lagi dari kami, hanya membawa beban di akhir ramadhan ini.

Engkau pasti tahu, bahwa sebagian besar dari kami selalu tidak bertekad memperbaiki diri untuk meniti hidup pasca ramadhan. Ramadhan ternyata tidak membuahkan takwa, ramadhan hanya berlalu dan diisi dengan kekosongan.


Sebagian dari kami menjelang akhir ramadhan ini lebih asyik di pusat-pusat perbelanjaan ketimbang i'tikaf di masjid-masjid. Berpacu berburu untuk memilih baju lebaran dan beragam makanan, ketimbang menjaring lailatul qadar . Jalanan padat, masjid berubah jadi museum. Sepi. Ya, kami masih terpuruk di segala bidang.

Sobat muda muslim, selain kita mengukur apa yang telah kita lakukan di bulan pernah berkah, rahmat, dan ampunan ini, juga kita tumpahkan energi peduli kita untuk teman-teman yang masih tetap ‘istiqomah' dalam kemaksiatannya. Nggak jarang kita jumpai, saudara kita yang masih berprinsip “semau gue” dalam berbuat. Malah tetap maksiat meski di bulan suci dan mulia ini. Astaghfirullah.

Kita pantas cemas menyaksikan polah teman-teman yang menjalani puasa hanya sebatas menahan diri dari makan dan minum doang. Sementara, mereka tetep gunjing sindir, tetap membuka auratnya, tetap tidak mengontrol mata, telinga, dan hatinya dari perbuatan kotor dan nista. . Rasulullah saw. bersabda: “Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi mereka tidak menda­patkan apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga” (HR Ahmad)

Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah yang mendapat berkah, rahmat, dan ampunan.