"Hati"

Tatalah hatimu! Tetapi kalau belum bisa menata hati, tatalah sendalmu dengan baik.

My Blog List

...Rumah Makan Harmoni (Depan BANK MANDIRI SYARIAH SUDIRMAN) terima karyawan wanita, diutamakan yang pandai membungkus nasi. hubungi Helmi 081268086958

Pages

Friday, November 19, 2010

Janji Allah s.w.t. kepada kaum mukminin

Kekuasaan yang Dijanjikan Allah untuk Kaum Mukminin

"Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka
tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku. Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (an-Nuur: 55)

Itulah janji Allah kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari umat Nabi Muhammad saw. Janji itu berupa khilafah dan kekuasaan di muka bumi, kekokohan dan keteguhan agama yang diridhai bagi mereka, dan ketakutan mereka diganti dengan keamanan. Itulah janjiAllah. Janji Allah pasti benar. Janji Allah pasti terjadi. Allah sekali-kali tidak pernah mengkhianatjanji-Nya.

Lantas apa hakikat dari iman itu? Dan, apa hakikat dari penganugerahan khilafah dan kekuasaan itu? Sesungguhnya hakikat iman itu yang dengannya akan terealisasi janji Allah secara pasti adalah hakikat sangat besar yang mencakup seluruh aspek aktivitas manusia. Dan, hakikat itu mengarahkan seluruh aktivitas manusia. Maka, ketika hakikat itu bersemayam dalam hati, ia akan menampakkan dirinya dalam gambaran amal yang penuh semangat, pembangunan, dan kreativitas yang semuanya tertuju kepada Allah.

Orang yang melakukan itu semata-mata hanya mencari ridha Allah. Hakikat iman itu adalah ketaatan kepada Allah dan penyerahan diri secara total baik dalam perkara kecil maupun besar. Tidak tersisa lagi bersamanya hawa nafsu, syahwat di hati, penyimpangan dalam fitrah, melainkan semuanya tunduk kepada apa yang dibawa oleh Rasulullah dari sisi Allah.

Iman itu merupakan manhaj kehidupan yang sempurna, mencakup seluruh perintah Allah. termasuk di antara perintah Allah itu adalah mempersiapkan segala sarana, menyiapkan bekal, mengusahakan wasilah-wasilah, dan membekali diri sendiri dengan segalah keahlian yang memungkinkan untuk mengemban amanat besar di muka bumi ini… yaitu amanah khilafah.

Jadi, apa hakikat dari penganugerahan khilafah dan kekuasaan di bumi itu? Sesungguhnya khilafah dan kekuasaan di muka bumi adalah kekuatan untuk melakukan pemakmuran dan perbaikan, bukan untuk memusnahkan dan menghancurkan. Ia juga merupakan kekuatan untuk merealisasikan keadilan dan ketenangan, bukan kezaliman dan penjajahan. Ia juga merupakan kekuatan untuk meraih derajat yang tinggi dalam jiwa manusia dan sistem kehidupannya, bukan untuk menyimpang baik individu maupun komunitas kepada perilaku-perilaku binatang!

Itulah janji kekuasaan yang dijanjikan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Mereka dijanjikan oleh Allah kekuasaan di muka bumi sebagaimana Allah telah menganugerahkannya kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh dahulu kala sebelum mereka. Tujuannya agar mereka merealisasikan manhaj yang dikehendaki oleh Allah, menetapkan keadilan yang diinginkan oleh Allah, dan berjalan bersama-sama dengan manusia dengan langkah-langkah di atas jalur yang mengantarkan kepada kesempurnaan yang ditentukan ketika Allah menciptakannya.

Sedangkan, orang-orang yang diberi kekuasaan, kemudian mereka melakukan kerusakan di muka bumi, menyebarkan kezaliman, dan menyimpang kepada perilaku-perilaku binatang … maka mereka sesungguhnya bukanlah diberi kekuasaan yang sejati. Namun, mereka diuji dengan kekuasaan yang ada pada mereka. Atau, kaum lain diuji dengan kekuasaan mereka, yaitu kaum yang ditaklukkan oleh mereka karena hikmah yang ditentukan oleh Allah.

Dalil dari pemahaman tentang hakikat kekuasaan ini adalah firman Allah,

“…Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka…."

Kekokohan agama baru akan tercapai bila ia telah kokoh berada dalam hati, sebagaimana hal itu juga baru akan tercapai bila ia telah kokoh dalam mengatur dan

mengendalikan kehidupan. Pada kondisi seperti itulah Allah menjanjikan kekuasaan kepada mereka di muka bumi. Dan, agama mereka yang diridhai bagi mereka, dijadikan sebagai agama yang menguasai bumi. Agama mereka itu menyuruh kepada perbaikan, keadilan, merasa lebih tinggi dan terhormat dari terjerumus ke dalam syahwat dunia, memakmurkan bumi, dan memanfaatkan segala yang disiapkan oleh Allah di dalam bumi. Bersama semua aktivitas itu ada perintah menyertakan keikhlasan hanya kepada Allah.

Janji Allah itu telah terealisasikan sekali … dan akan terus terealisasikan selama orang-orang yang beriman mau menjalani syarat yang ditentukan Allah, “ Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku…."

Selama orang-orang yang beriman tidak menyekutukan Allah dengan tuhan lain atau dengan syahwat-syahwat mereka …mereka beriman dan beramal saleh… maka janji Allah itu pasti terlaksana bagi setiap orang dari umat ini yang menunaikan syarat itu sampai hari kiamat kelak. Sesungguhnya kelambatan datangnya pertolongan, kekuasaan, peneguhan, pengokohan, dan keamanan Allah disebabkan oleh tidak hadirnya syarat Allah itu dalam salah satu di antara aspek-aspeknya yang luas, atau dalam beban taklif di antara taklif-taklif yang besar.

Apabila umat telah mengambil pelajaran dari musibah itu, melewati ujian, memohon keamanan kepada Allah, memohon kejayaan kepada Allah, memohon kekuasaan … bersama dengan wasilah-wasilah yang dikehendaki oleh Allah dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Allah … pasti Allah akan merealisasikan janji-Nya yang tidak pernah dikhianati-Nya. Sehingga, tidak ada satu kekuatan pun dari seluruh kekuatan yang ada di bumi ini yang mampu menghadangnya.

Oleh karena itu, Allah menambah komentar atas janji itu dengan perintah shalat, zakat, dan taat. Tujuannya agar tidak menjadikan Rasulullah dan umatnya sebagai sasaran bagi kekuatan orang-orang kafir yang memerangi mereka dan memerangi agama mereka yang diridhai Allah.

“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat. Janganlah kamu kira bahwa orang-orang yang kafir itu dapat melemahkan Allah dari mengazab mereka di bumi ini, sedang tempat tinggal mereka (di akhirat) adalah neraka. Dan, sungguh amat jeleklah tempat kembali itu." (an-Nuur: 56-57)

Itulah bekal yang harus disertakan. Yaitu, selalu menjalin hubungan dengan Allah, meluruskan hati dengan mendirikan shalat, menguasai sifat bakhil dan kikir, mensucikan jiwa dan jamaah dengan menunaikan zakat, menaati Rasulullah dan ridha dengan keputusan hukumnya, pelaksanaan syariat Allah dalam setiap perbuatan kecil dan besar, dan merealisasikan manhaj yang dikehendaki-Nya untuk kehidupan ini.

Semuanya “ supaya kamu diberi rahmat". Kalian mendapat rahmat di dunia sehingga tidak tertimpa kerusakan, penyimpangan, ketakutan, kekhawatiran, dan kesesatan. Demikian juga di akhirat terbebas dari kemurkaan, azab, dan penyiksaan. Bila kalian istiqamah atas manhaj, maka kekuatan orang-orang kafir tidak akan menjadi masalah bagi kalian. Orang-orang kafir itu tidak akan bisa memperlemah kekuatan kalian. Walaupun kekuatan mereka luar biasa, namun mereka tidak akan bisa menghalangi jalan kalian.

Kalian menjadi kuat dengan keimanan kalian, kuat dengan sistem kalian, dan kuat dengan bekal yang mampu kalian kumpulkan. Bisa jadi perbekalan kalian tidaklah sebanding dari suatu sisi materi dengan perbekalan orang-orang kafir. Namun, hati-hati yang beriman dan penuh dengan perjuangan selalu dapat menciptakan kejadian-kejadian yang luar biasa dan keajaiban-keajaiban.

Sesungguhnya Islam itu merupakan hakikat yang sangat besar. Ia harus disadari secara penuh oleh orang yang ingin meraih hakikat janji Allah dalam ayat-ayat itu. Ia harus dibahas tuntas dalam perjalanan sejarah manusia tentang kebenaran dan bukti janji itu. Setiap orang yang ingin meraih hakikat janji Allah dalam ayat-ayat itu harus mengetahui syarat-syaratnya secara benar dan sejati, sebelum dia meragukan dan merasa bimbang akan janji itu. Atau, sebelum ia merasa janji itu terlalu terlambat datang faktanya dalam kondisi apa pun.

Sesungguhnya jika setiap umat ini berjalan dalam manhaj Allah, berhukum kepada manhaj itu dalam kehidupan, meridhainya dalam setiap urusannya … maka janji Allah tentang kekuasaan, kekokohan, dan keamanan itu pasti menjadi kenyataan. Namun, jika setiap kali umat ini menyimpang dari manhaj itu, maka pasti umat ini berada dalam posisi paling terbelakang dari seluruh kafilah umat manusia, rendah dan hina.

Agamanya terlempar dari kejayaan atas seluruh manusia. Umat pun diliputi oleh ketakutan dan disambar oleh musuh.

Ingatlah, sesungguhnya janji Allah pasti terlaksana. Ingatlah bahwa syarat dari Allah sudah jelas. Barangsiapa yang menginginkan janji itu, maka hendaklah dia mencukupi syaratnya. Siapakah yang lebih menepati janji selain Allah?

Hutang Kita Belum Terbayar Sempurna !

Hai Jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku! (QS. Al-Fajr: 27-30).

Manusia diciptakan bukan tanpa target kosong. Ia telah dipersiapkan sedemikian rupa untuk mencapai hakikat agung. Saat terlahir, manusia memiliki akal, hati, nafsu dan dilengkapi dengan pengajaran wahyu. Meski begitu, kenyataannya, ragam manusia juga memicu ragam cara menuju tujuan yang dianggap mulya. Akan tetapi tetap hanya ada satu cara yang diridlai-Nya.

Bagi Friedrich Nietzsche, manusia menjadi agung jika ia bebas (free). Membebaskan dirinya dari belenggu kekuatiran dosa dan norma-norma tradisional. Filosof dualis Rene Descartes lebih terobsesi pada rasio. Kata dia; “kamu ada karena kamu berpikir!”. Rasionalis murni adalah ciri khasnya. Karl Marx beda lagi. Baginya, “manusia bekerja, maka dia ada (hidup)”.

Baik bagi Nietzsche, Descartes maupun Marx, manusia adalah sentral kesempurnaan. Paham Antroposentrisme ini mengira, manusia bisa agung tanpa ketundukan pada agama. Berbeda dengan konsep Islam, justru keagungan itu sebab manusia kembali kepada kecenderungan alaminya. Yakni tunduk pada Allah SWT.

Setiap manusia sebenarnya, bahkan seorang tak bertuhan pun memiliki kecenderungan alami. Hanya saja, disebabkan keterbelenggu nafsu, cahaya Ilahiah tak menembus qalbu. Melepaskan diri dari fitrah kemanusiaan menjadikan kehidupan manusia tak seimbang, tak bebas, terpenjara oleh syahwat duniawi.

Kebebasan tidak dapat diartikan bebas untuk melakukan apa saja menurut akal dan ambisinya. Syekh al-Attas menta’rifkan; ”Kebebasan sesungguhnya adalah bertindak sesuai dengan yang dituntut oleh hakikat sebenarnya dari dirinya”.

Apakah hakikat tuntutan dari diri manusia? Tidak lain kembali kembali kepada kecenderungan alami, sebagai hamba yang khudu’ (patuh). ”Dan siapakah yang lebih baik agama (diin)-nya daripada orang yang menyerahkan (aslama) dirinya kepada Allah ?” (QS. Al-Nisa: 125). Caranya, dengan penyerahan (istislam) kepada Allah SWT. Tuntutan ini adalah pelaksanaan diin.

Sebuah benda yang berjalan tidak menurut aturan mainnya tidak akan menemukan kesempurnaan. Program komputer yang tidak dijalankan sebagaiman petunjuak set up menjalankannya, tak akan dapat dijalankan atau tidak berjalan sempurna program tersebut.

Manusia juga demikian. Sebelum dicipta berbentuk fisik manusia, ia telah di-install program keimanan kepada Allah. Ruh manusia mengikat janji: ”Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):’Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi” (QS. Al-A’raf: 172).

Karena nafsu, sebab bisikan setan, program keimanan itu menjadi rusak. Maka misi agama Islam adalah mengembalikan manusia agar menjalankan kemanusiaannya yang normal, dan bebas. Bukan membebaskan dari aturan syari’at.

Menentang aturan agama, berarti dia termasuk manusia tidak normal, tidak bebas, terpenjara syahwat. Masuk akal, jika kemudian orang demikian hidupnya tidak bahagia. Logikanya tidak menuju kejelasan posisi fitrah. Sebab telah lepas dari mekanisme kemanusiaan yang murni. Ingatlah, Kebahagiaan itu dengan menuruti fitrah, bukan nafsu!.

Imam al-Ghazali dalam KIMIYA’ SA’ADAH merumuskan, bahagia itu dengan empat hal; Pertama, pengetahuan tentang diri. Kedua, pengetahuan tentang Allah. Ketiga, pengetahuan tentang dunia ini sebagaimana adanya. Keempat, pengetahuan tentang akhirat sebagaimana adanya. Menuruti syahwat hanyalah nikmat yang semu. Kenikmatan abadi itu dengan tunduk pada kecenderungan alami.

Pencapaiaan kesempurnaan yang agung itulah dengan ber-diin (beragama Islam). Kata diin berasal dari akar kata dayana, yang artinya beragam tapi terkait satu sama lain; berhutang, penyerahan diri, kuasa peradilan, dan kecenderungan alami. Semua arti ini membentuk sistem konseptual. Ber-Islam secara filosofis maknanya sedang ’membayar hutang’ kepada Pencipta.

Hakikat keadaan berhutang adalah wujud dan eksistensi manusia di dunia yang penuh kenikmatan fisikal dan spiritual. Mulanya, manusia itu dalam kerugian. Yakni lahir tanpa memiliki suatu apapun. ”Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian” (QS.al-’Ashri: 2). Manusia beriman akan sadar bahwa segala sesuatu tentang dirinya, apa yang ada pada dirinya dan darinya sesungguhnya dimiliki oleh Sang Pencipta Yang Memiliki segala sesuatu.

Manusia yang beriman tidak sekedar merasa berhutang pada yang Maha Kuasa, tetapi kesadaran memiliki hutang diwujudkan dengan penyerahan diri (aslama). Dalam konsep Diin, penyerahan tidak sekedar menyerahkan tanpa aturan. Konsep penyerahan diri barangkali umumnya dapat ditemukan di semua agama. Akan tetapi tidak semua agama menetapkan suatu penyerahan diri yang sesungguhnya. Ini berarti, memaknai al-Islam hanya dengan ”penyerahan diri kepada Yang Maha Kuasa” adalah tidak betul. Ini tidak cukup.

Yang berbeda dengan agama lain, penyerahan diri menurut konsep Islam adalah penyerahan yang tulus dan menyeluruh menurut kehendak Allah dijalankan dengan sepenuh hati dengan ketaatan secara mutlak terhadap hukum yang diwahyukan oleh-Nya. Jadi syarat penyerahan diri itu adalah; kaffah tidak parsial, sesuai kehendak Allah bukan kehendak manusia, taat pada hukum sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an. Selain syarat ini, bukan konsep penyerahan diri secara Islam.

Islam sebagai satu-satunya agama berkonsep Diin mengikuti pola atau bentuk yang menjadi acuan Allah SWT dalam memerintah yang merupakan peniruan dari sistem kosmik yang diwujudkan dalam kehidupan di dunia sebagai sistem sosial, budaya, politik dan elemen-eleman lainnya secara menyeruluh.

Inlah cara ’membayar hutang’. Ada mekanismenya. Mekanisme itu telah terlengkapi dengan acuan-acuan yang mengarahkan manusia menjadi manusia agung dan bebas. Bebas dari belenggu penjara nafsu. Makanya, kita mesti menyadari secara mutlak, bahwa kita tak memiliki apapun untuk membayar hutang kecuali dengan mekanisme yang telah terberi itu.

Diri manusia sendiri adalah hutang yang harus dikembalikan kepada Sang Pemilik. Mengembalikan hutang bermakna menjadikan dirinya dalam keadaan khidmat atau menghambakan diri kepada Allah. Konsep mengembalikan inilah yang telah wujud pada struktur konseptual istilah Diin.

Pertanyaannya kemudian; Sedari kita baligh hingga sisa nafas hari ini sudahkah kita membayar hutang secara sempurna? Khidmah apa yang kita persembahkan? Tentu selama melewati tapak-tapak hidup, sering kali kita tidak sabar dengan mekanisme, sehingga hampir-hampir merusak program iman yang telah ter-instal sekian lama.

Bahkan tak sadar hampir mendelete program tersebut, na’udzubillah!. Atau kah kita membuat mekanisme sendiri? Ingatlah itu akan menjerumuskan pada keterpenjaraan, kesempitan hati dan kerugian yang abadi. Maka jangan merasa agung, jika hutang-hutang kita masih berceceran belum terbayar! Allahumma Yuqawwi…

Monday, November 15, 2010

Allah Swt memberikan petunjuk kepada untuk menyikapai segala masalah melalui contoh yang diberikan kepada nabi dan Rasulnya. Silahkan menyimak, semoga bermanfaat. Wassalamu............

Hai hamba-Ku! Jika kamu merasa berat melaksanakan apa yang Aku perintahkan kepadamu, ucapkanlah:

Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.
Sebagaimana hal itu diucapkan oleh para malaikat-Ku yang memikul ‘Arasy, karena meresa merasa sangat berat menanggunya.

Jika kamu ditimpa musibah atau cobaan, ucapkanlah:

Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami kembali.
Sebagaimana hal itu diucapkan oleh para kekasih-Ku.

Jika kamu tergelincir berbuat maksiyat atau dosa kepada-Ku, berdoalah sebagaimana kekasihku Adam dan isterinya memohon kepada-Ku:

Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.

Jika kamu kamu mengahadapi masalah, bingung dan ingin memperoleh petunjuk untuk menyelesaikannya, maka berdo’alah seperti do’a yang diucapkan oleh kekasihku Ibrahim ‘alaihi salam:

(yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, dan Dia-lah yang memberi petunjuk kepadaku (78) Dia-lah yang memberi makan dan minum kepadaku (79) Jika aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkanku (80) Dia-lah yang dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali) (81) Dia-lah Yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat (82) (Ibrahim berdo`a): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, (83) dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, (84) dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan, (85) dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, (86) dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (87) (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, (88) kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”(89) (Qs Al-Syu’ara; 78-89)
Jika kamu ditimpa musibah yang menyedihkan, ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh Nabi Ya’qub ‘alaihi salam:

Ya`qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya.”(Qs Yusuf; 86)
Jika kamu melakukan kesalahan, ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh Nabi Musa ‘alaihi salam:

“Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya)” (Qs Al-Qashash; 15)
Jika terbersit dalam hatimu untuk berbuat maksiyat kepaaku, maka ucapkanlah seperti yang dikatakan oleh Nabi Yusuf ‘alaihi salam:

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs Yusuf; 53)
Jika kamu ditimpa suatu fitnah atau ujian, maka lakukanlah seperti yang dilaksanakan oleh kekesih-Ku Daud ‘alaihi salam, yakni meminta ampun, bersujud dan bertaubat (sebagaimana tersurat dalam al-Qur’an surat Shad ayat 24).

“Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat” (Qs Shad; 24).
Jika kamu melihat hamba-hamba-Ku yang bermaksiyat dan berbuat kesalahan,dan kamu tidak tahu bagaimana aku akan menghukum mereka, maka ucapkanlah seperti ucapan Nabi Isa ‘alaihi salam:

“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Qs Al-Maidah;118)
Jika kamu hendak meminta ampun kepada-Ku, maka berdo’alah seperti do’a yang diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw dan sahabat-sahabatnya:

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”(Qs Al-Baqarah; 286).
Jika kamu khawatir akan akibat dari suatu perkara dan kamu tidak tahu bagaimana akhir dari proses perjalanan hidupmu, maka berdo’alah seperti yang diucapkan oleh para kekasih-Ku:

(Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia). “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya”. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (Qs Ali Imran; 8-9).

Selesai…