"Hati"

Tatalah hatimu! Tetapi kalau belum bisa menata hati, tatalah sendalmu dengan baik.

My Blog List

...Rumah Makan Harmoni (Depan BANK MANDIRI SYARIAH SUDIRMAN) terima karyawan wanita, diutamakan yang pandai membungkus nasi. hubungi Helmi 081268086958

Pages

Friday, November 19, 2010

Hutang Kita Belum Terbayar Sempurna !

Hai Jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku! (QS. Al-Fajr: 27-30).

Manusia diciptakan bukan tanpa target kosong. Ia telah dipersiapkan sedemikian rupa untuk mencapai hakikat agung. Saat terlahir, manusia memiliki akal, hati, nafsu dan dilengkapi dengan pengajaran wahyu. Meski begitu, kenyataannya, ragam manusia juga memicu ragam cara menuju tujuan yang dianggap mulya. Akan tetapi tetap hanya ada satu cara yang diridlai-Nya.

Bagi Friedrich Nietzsche, manusia menjadi agung jika ia bebas (free). Membebaskan dirinya dari belenggu kekuatiran dosa dan norma-norma tradisional. Filosof dualis Rene Descartes lebih terobsesi pada rasio. Kata dia; “kamu ada karena kamu berpikir!”. Rasionalis murni adalah ciri khasnya. Karl Marx beda lagi. Baginya, “manusia bekerja, maka dia ada (hidup)”.

Baik bagi Nietzsche, Descartes maupun Marx, manusia adalah sentral kesempurnaan. Paham Antroposentrisme ini mengira, manusia bisa agung tanpa ketundukan pada agama. Berbeda dengan konsep Islam, justru keagungan itu sebab manusia kembali kepada kecenderungan alaminya. Yakni tunduk pada Allah SWT.

Setiap manusia sebenarnya, bahkan seorang tak bertuhan pun memiliki kecenderungan alami. Hanya saja, disebabkan keterbelenggu nafsu, cahaya Ilahiah tak menembus qalbu. Melepaskan diri dari fitrah kemanusiaan menjadikan kehidupan manusia tak seimbang, tak bebas, terpenjara oleh syahwat duniawi.

Kebebasan tidak dapat diartikan bebas untuk melakukan apa saja menurut akal dan ambisinya. Syekh al-Attas menta’rifkan; ”Kebebasan sesungguhnya adalah bertindak sesuai dengan yang dituntut oleh hakikat sebenarnya dari dirinya”.

Apakah hakikat tuntutan dari diri manusia? Tidak lain kembali kembali kepada kecenderungan alami, sebagai hamba yang khudu’ (patuh). ”Dan siapakah yang lebih baik agama (diin)-nya daripada orang yang menyerahkan (aslama) dirinya kepada Allah ?” (QS. Al-Nisa: 125). Caranya, dengan penyerahan (istislam) kepada Allah SWT. Tuntutan ini adalah pelaksanaan diin.

Sebuah benda yang berjalan tidak menurut aturan mainnya tidak akan menemukan kesempurnaan. Program komputer yang tidak dijalankan sebagaiman petunjuak set up menjalankannya, tak akan dapat dijalankan atau tidak berjalan sempurna program tersebut.

Manusia juga demikian. Sebelum dicipta berbentuk fisik manusia, ia telah di-install program keimanan kepada Allah. Ruh manusia mengikat janji: ”Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):’Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi” (QS. Al-A’raf: 172).

Karena nafsu, sebab bisikan setan, program keimanan itu menjadi rusak. Maka misi agama Islam adalah mengembalikan manusia agar menjalankan kemanusiaannya yang normal, dan bebas. Bukan membebaskan dari aturan syari’at.

Menentang aturan agama, berarti dia termasuk manusia tidak normal, tidak bebas, terpenjara syahwat. Masuk akal, jika kemudian orang demikian hidupnya tidak bahagia. Logikanya tidak menuju kejelasan posisi fitrah. Sebab telah lepas dari mekanisme kemanusiaan yang murni. Ingatlah, Kebahagiaan itu dengan menuruti fitrah, bukan nafsu!.

Imam al-Ghazali dalam KIMIYA’ SA’ADAH merumuskan, bahagia itu dengan empat hal; Pertama, pengetahuan tentang diri. Kedua, pengetahuan tentang Allah. Ketiga, pengetahuan tentang dunia ini sebagaimana adanya. Keempat, pengetahuan tentang akhirat sebagaimana adanya. Menuruti syahwat hanyalah nikmat yang semu. Kenikmatan abadi itu dengan tunduk pada kecenderungan alami.

Pencapaiaan kesempurnaan yang agung itulah dengan ber-diin (beragama Islam). Kata diin berasal dari akar kata dayana, yang artinya beragam tapi terkait satu sama lain; berhutang, penyerahan diri, kuasa peradilan, dan kecenderungan alami. Semua arti ini membentuk sistem konseptual. Ber-Islam secara filosofis maknanya sedang ’membayar hutang’ kepada Pencipta.

Hakikat keadaan berhutang adalah wujud dan eksistensi manusia di dunia yang penuh kenikmatan fisikal dan spiritual. Mulanya, manusia itu dalam kerugian. Yakni lahir tanpa memiliki suatu apapun. ”Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian” (QS.al-’Ashri: 2). Manusia beriman akan sadar bahwa segala sesuatu tentang dirinya, apa yang ada pada dirinya dan darinya sesungguhnya dimiliki oleh Sang Pencipta Yang Memiliki segala sesuatu.

Manusia yang beriman tidak sekedar merasa berhutang pada yang Maha Kuasa, tetapi kesadaran memiliki hutang diwujudkan dengan penyerahan diri (aslama). Dalam konsep Diin, penyerahan tidak sekedar menyerahkan tanpa aturan. Konsep penyerahan diri barangkali umumnya dapat ditemukan di semua agama. Akan tetapi tidak semua agama menetapkan suatu penyerahan diri yang sesungguhnya. Ini berarti, memaknai al-Islam hanya dengan ”penyerahan diri kepada Yang Maha Kuasa” adalah tidak betul. Ini tidak cukup.

Yang berbeda dengan agama lain, penyerahan diri menurut konsep Islam adalah penyerahan yang tulus dan menyeluruh menurut kehendak Allah dijalankan dengan sepenuh hati dengan ketaatan secara mutlak terhadap hukum yang diwahyukan oleh-Nya. Jadi syarat penyerahan diri itu adalah; kaffah tidak parsial, sesuai kehendak Allah bukan kehendak manusia, taat pada hukum sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an. Selain syarat ini, bukan konsep penyerahan diri secara Islam.

Islam sebagai satu-satunya agama berkonsep Diin mengikuti pola atau bentuk yang menjadi acuan Allah SWT dalam memerintah yang merupakan peniruan dari sistem kosmik yang diwujudkan dalam kehidupan di dunia sebagai sistem sosial, budaya, politik dan elemen-eleman lainnya secara menyeruluh.

Inlah cara ’membayar hutang’. Ada mekanismenya. Mekanisme itu telah terlengkapi dengan acuan-acuan yang mengarahkan manusia menjadi manusia agung dan bebas. Bebas dari belenggu penjara nafsu. Makanya, kita mesti menyadari secara mutlak, bahwa kita tak memiliki apapun untuk membayar hutang kecuali dengan mekanisme yang telah terberi itu.

Diri manusia sendiri adalah hutang yang harus dikembalikan kepada Sang Pemilik. Mengembalikan hutang bermakna menjadikan dirinya dalam keadaan khidmat atau menghambakan diri kepada Allah. Konsep mengembalikan inilah yang telah wujud pada struktur konseptual istilah Diin.

Pertanyaannya kemudian; Sedari kita baligh hingga sisa nafas hari ini sudahkah kita membayar hutang secara sempurna? Khidmah apa yang kita persembahkan? Tentu selama melewati tapak-tapak hidup, sering kali kita tidak sabar dengan mekanisme, sehingga hampir-hampir merusak program iman yang telah ter-instal sekian lama.

Bahkan tak sadar hampir mendelete program tersebut, na’udzubillah!. Atau kah kita membuat mekanisme sendiri? Ingatlah itu akan menjerumuskan pada keterpenjaraan, kesempitan hati dan kerugian yang abadi. Maka jangan merasa agung, jika hutang-hutang kita masih berceceran belum terbayar! Allahumma Yuqawwi…

No comments:

Post a Comment